Hal ini dialami pengacara dari Malang, Suhartono yang dikriminalisasi saat mengurus perkara sengketa tanah kliennya. Pihak penyidik menggunakan UU tersebut untuk menjerat Suhartono dan kliennya atas tuduhan penggelapan barang bukti.
"Klien saya merasa punya sebidang tanah yang kebetulan diatasnamakan saudara. Klien saya kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya karena merasa berhak atas tanah itu dengan bukti kuitansi pembelian," kata Suhartono.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, ketika gugatan perdata tengah berjalan, kliennya diadukan karena diduga melakukan penggelapan sertifikat tanah. Pihak penyidik meminta klien Suharto menyerahkan sertifikat tanah tersebut.
"Karena klien saya keberatan, maka saya pun keberatan menyerahkan sertifikat itu karena akan saya gunakan dalam perkara perdata yang masih berlangsung," ujar Suhartono.
Penolakan ini membuat penyidik menetapkan Suhartono dan kliennya menjadi tersangka. Suhartono lalu mencari bantuan hukum ke DPR dan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) serta Ikatan advokat Indonesia (Ikadi).
"Teman-teman di Komisi III datang ke Polda Jatim. Bahkan, saat itu Pak Gayus Lumbuun menyatakan, UU ini dia yang buat dan seharusnya saya tidak bisa ditahan. Tapi ternyata hal itu tidak dihiraukan oleh penyidik Polda Metro Jaya," ujar Suhartono meyakinkan majelis hakim Akil Mochtar.
Pada kesimpulannya, Suhartono menyatakan UU yang diujimaterikan tidak melindungi advokat dan UU ini harusnya memberikan jaminan kepastian hukum saat advokat melaksanakan tugasnya di luar meja hijau.
"UU ini ternyata tidak memberikan perlindungan kepada advokat di luar persidangan, hanya di dalam persidangan," ujar Suhartono.
UU Advokat ini dimohonkan untuk diujimateri oleh tiga orang advokat, yaitu Rangga Lukita Desnata, Oktavianus Sihombing, dan Dimas Arya Perdana. Tiga pemohon ini berharap MK mengabulkan permohonan mereka karena dianggap melanggar UUD 1945.
(vid/asp)