Silat tampaknya sudah mendarah daging bagi masyarakat Betawi. Legenda rakyat seperti Si Pitung juga beberapa tokoh perjuangan Betawi bahkan dicatat selalu memiliki keahlian bela diri ini dalam melawan penjajah. Hingga ilmu itu diwariskan pada anak cucu keturunan untuk dilestarikan dan dimanfaatkan hingga kini.
"Di masyarakat Betawi, silat memang sudah menjadi bagian kehidupan mereka. Kalau zaman dulu, bisa mengaji juga harus bisa silat," demikian kata sejarawati Siswantari ketika ditemui detikcom di kantornya Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok, Kamis (13/6/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengaji dan silat adalah pasangan sejoli yang diharapkan wajib dimiliki orang Betawi pada masa penjajahan. Kemampuan itu dianggap penting untuk melindungi keluarga dan daerah tempat tinggal warga Betawi saat itu.
Siswantari (Nograhany/detikcom)
Silat juga, imbuh Siswantari, syarat yang harus dimiliki oleh pemimpin wilayah, Wijkmester atau Tuan Bek alias lurah, istilah pada masa kini. Bahkan legenda Betawi kerap menceritakan pendekar silat, jawara yang suka menang tanding menjaga daerahnya tak cuma memiliki ilmu olah fisik saja, melainkan juga olah batin sehingga ada yang disebut-sebut punya kemampuan menghilang.
Namun sayang, keahlian dan ilmu itu tak selamanya dipakai untuk tujuan baik. Maka, dikenal istilah jago dan jagoan.
"Jago itu jago silat yang menyimpan untuk dirinya sendiri dan untuk kepentingan masyarakat bila diperlukan. Kalau jagoan itu biasanya untuk memeras atau merampok," jelas dosen Program Studi Sejarah yang mengajar Sejarah Jakarta ini.
Maka tak heran, beberapa tokoh Betawi tempo dulu lebih dikenal berjuang dengan mengandalkan kemampuan silatnya. Si Pitung yang legendaris, kemudian Entong Gendut dari Condet hingga Sabeni, hanyalah beberapa tokoh perjuangan yang menguasai ilmu silat. Keturunan Sabeni bahkan masih eksis mengelola padepokan pencak silat di Jakarta. Ciaat!
(nwk/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini