"Saya amat prihatin dengan nasib korban yang mengalami ketidakadilan berlapis-lapis. Malah ini seperti perkosaan berikutnya karena seperti menggarami luka hingga berdarah kembali," kata anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari, kepada detikcom, Sabtu (1/5/2013).
"Saya juga menyesalkan mengapa keluarga tidak menempuh jalur pidana," sambung Eva.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Putusan pengadilan yang tertunda terlalu lama malah menjadi luka baru, terutama putusannya yang tidak memihak ke korban," papar politikus PDIP ini.
Eva berharap, MA berbenah supaya tidak memvonis terlalu lama. Access to justice berupa pendampingan hukum bagi warga miskin harus dipastikan merata sehingga korban tidak dirugikan akibat ketidakpahaman hak-hak mendapat peradilan yang layak.
"Kedua, perbaikan pelayanan hukum oleh pengadilan, tertundanya putusan kasus kasasi yg berdimensi gender/kejahatan seksual seperti ini harus mendapat perlakuan khusus," terang Eva.
"Pengadilan yang tidak sensitive dan responsive gender sering justru bentuk ketidakadilan bagi para perempuan," pungkas Eva.
Dalam perkara nomor 137 K/PDT/2008 ini, hakim agung Imron Anwari, Timur Manurung dan Hakim Nyak Pha menjatuhkan vonis ganti rugi Rp 30 juta kepada orang tua korban. Trio hakim agung ini memecah Rp 10 juta untuk kerugian materil dan Rp 20 juta untuk kerugian moril masa depan anak.
Perdagangan anak ini terbongkar setelah satu satu korban berhasil melewati penjagaan 'bodyguard' untuk mengirimkan sepucuk surat kepada keluarganya pada Februari 2000 silam.
(asp/nvc)