"Berdasarkan saksi ini murni tawuran, bukan premanisme seperti yang sudah ada di publik," ujar Ketua Tim Advokasi Komite SMA 70, Suhendra Asido Hutabarat.
Hal itu disampaikan dia di sela-sela pemeriksaan 15 saksi di Mapolres Jakarta Selatan, Jl Wijaya II, Jakarta, Senin (1/10/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keterangannya kepada polisi saksi menyebut ada semacam tradisi yang berlaku untuk kedua sekolah itu, bahwa anak SMA 6 tidak boleh terlihat di Bulungan yang merupakan wilayah SMA 70. Sebaliknya anak SMA 70 tidak boleh terlihat di daerah Mahakam.
"Menurut saksi-saksi, anak SMA 6 terlihat di Bulungan. Jadi sesuai tradisi anak-anak ini tentang teritori daerah mereka, mereka langsung melaporkan ke teman-teman anak 70 yang lain," terang Suhendra.
Para saksi menyebut tradisi itu telah ada sejak dulu. Sehingga 'perjanjian teritori' itu didapat dari kakak-kakak kelasnya.
"Jadi ini sudah tradisi dari zaman dulu. Dan ini sekarang jadi PR kita bagaimana tradisi ini bisa dihapuskan," imbuh Suhendra.
Tawuran antara siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta pecah di kawasan Bulungan - tak jauh dari Blok M Plaza - pada Senin (24/9) lalu. Tawuran ini menyebabkan Alawy, siswa SMA 6 kelas X yang tidak ikut tawuran, tewas akibat kena bacok di bagian dada.
Doyok akhirnya diringkus polisi di Yogyakarta setelah menjadi buron. Doyok ditangkap tanpa perlawanan saat sedang menonton infotainment di kamar kos.
(vit/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini