"MPR selama ini banyak menggunakan metode. Dari mulai anak-anak SMA, itu ada outbond, cerdas cermat, banyak sekali yang hafal UUD 45 dan TAP MPR. Tentu ini secara verbalistik ya, penghayatannya memerlukan waktu," ujar Wakil Ketua DPR Hajriyanto Y Thohari.
Hal itu dia sampaikan dalam diskusi publik bertajuk 'Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Berbagai Profesi Anak Bangsa' di Hotel Borobudur, Jl Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis (27/9/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian ada melalui berbagai jalur kesenian wayang, seminar-seminar, focus group discussion. Kami mencoba tuli terhadap orang yang sinis. Walaupun kami juga menyadari, masak sih MPR kok bikin cerdas-cermat. Tapi kita serahkan ke Menteri Pendidikan nggak dilaksanakan juga," jelasnya.
Sementara itu Sejarawan UI Abdurrakhman mengatakan pola pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat kaku. Para pendidik harus juga menggunakan metode yang lebih kreatif agar para siswa bisa menerima pesan yang disampaikan.
"Pelajar kita dengan metode pendidikan sekarang ini masih sangat jauh. Pancasila harus ditanamkan sejak dini, pola pendidikannya yang juga kita ubah, bukan pola pendidikan yang sangat kaku seperti orde zaman Orde Baru," paparnya.
Lebih lanjut Abdurrakhman menjelaskan pentingnya menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada para siswa. Metode penanaman Pancasila tidak harus dilakukan di dalam kelas, tapi dapat juga dilakukan melalui kegiatan di luar ruangan.
"Salah satunya dengan menyelenggarakan cerdas-cermat di lapangan. Kegiatan yang pernah kami laksanakan bersama Dompet Dhuafa, dengan menyelenggarkan cerdas-cermat lintas sejarah Nusantara. Jadi Pancasila bukan hilang, tapi tidak tertanam, jadi maaf ya pelajar yang sering tawuran seperti tidak melihat ke depan," tutupnya.
(mpr/vta)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini