Artinya, makanan mulai dari ketupat dengan opor ayam, rendang daging sapi, pempek, kue basah, kue kering, minuman kaleng atau botol, hingga pakaian baru, menjadi syarat utama setiap keluarga di Palembang, baik dari keluarga kaya maupun miskin. Bukan itu saja, setiap rumah harus menyiapkan semua makanan tersebut
bukan untuk keluarga saja, tapi juga bagi para tamu yang datang ke rumah. Dan hal ini berlangsung selama sepekan.
Maka, dengan tradisi seperti ini dapat dikatakan merayakan lebaran di Palembang cukup mahal. Dalam hitungan sederhana, keluarga dengan dua anak harus menyediakan uang minimal Rp5 juta untuk merayakan lebaran. Hitungannya, sekitar Rp1,5 juta untuk membeli makanan seperti ketupat, opor ayam atau bebek, rendang, pempek, dan kue basah atau kering.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Jika mudik ke dusun (kampung), biaya dapat bertambah dua atau tiga kali lipat,” kata salah satu tokoh masyarakat, Ustad Ibnu Zen Syukri, dalam perbicangan dengan detikcom, Sabtu (18/08/2012).
Namun, yang harus dimengerti, kata Ibnu, wong Palembang memiliki tradisi membeli pakaian baru setiap kali lebaran. “Artinya pakaian itu memang dipakai selama setahun. Jadi itu belanja pakaian selama setahun, kecuali belanja buat anak-anak mereka seperti kebutuhan sekolah,” ujarnya.
Apakah tradisi yang mahal ini tidak pantas dipertahankan? Menurut Ibnu, tradisi ini tidaklah berat, jika umat muslim menjaga penghasilannya selama setahun. “Jika mereka menabung pendapatan mereka khusus buat ramadan dan Idul Fitri hal itu tidaklah berat. Persoalannya, selama sebelum ramadan dan lebaran banyak penghasilan yang tidak digunakan buat hal-hal yang tidak penting. Jika kita memiliki tabungan khusus buat ramadan dan Idul Fitri, saya percaya ibadah kita akan tenang, terutama dalam melakukan ibadah puasa dan merayakan Idul Fitri, dan tidak mengorbankan puasa hanya untuk mencari uang buat Idul Fitri,” katanya.
Sementara mereka yang dinilai mampu atau kaya, juga harus mengeluarkan biaya yang lebih. Sebab umumnya sebuah keluarga yang kaya, menjadi kewajiban mereka buat berbagai rezeki dengan keluarga, tetangga, maupun orang lain. Tidaklah heran, misalnya ada pengusaha atau kepala daerah yang menghabiskan uang hingga miliaran rupiah buat berbagi dengan sesama.
Jika mereka tidak melakukan itu, maka mereka dinilai tidak 'kikir' dan menjadi bahan omongan negatif di keluarga maupun di masyarakat. “Tradisi ini juga mendorong orang kaya buat berbagi dengan mereka yang tidak mampu, bukan hanya memberi zakat atau bersedekah ke masjid atau panti asuhan,” kata Ibnu.
(tw/trq)