"Belum ada perintah dari partai (PDIP)," kata Adang saat dikonfirmasi detikcom, Sabtu (17/3/2012) malam.
Apa yang disampaikan Adang itu cukup mengejutkan. Padahal Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sudah memproklamirkan diri bahwa Adang yang juga kader PDIP, akan maju mendampingi Fauzi Bowo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ucapan Adang soal belum adanya 'restu' partai cukup beralasan. Ketua Umum PDIP Megawati dalam pernyataannya di Kupang, NTT, pada Sabtu (17/3) sore, menyebut partainya belum memutuskan nama calon untuk bertarung di Pilkada DKI.
Mundur ke belakang, sinyal duet Foke-Adang sebenarnya diletupkan Ketua Dewan Pertimbangan PDIP Taufiq Kiemas. Suami Megwati itu yang membuka nama pasangan itu untuk bertarung di Pilkada DKI.
"Kalau mestinya sih sama Foke, kalau cerdas. Mungkin Adang Ruchiatna. Mudah-mudahan saja lancar," kata Taufiq kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (14/3).
Lalu kenapa PDIP yang sudah diberi kepastian oleh PD seolah ragu, bahkan Adang yang namanya disebut Anas seolah menolak?
Setelah pernyataan Taufiq soal duet Foke-Adang, sehari kemudian peta politik mulai berubah. Megawati bertemu dengan Ketum Gerindra Prabowo Subianto pada Kamis (15/3) sore.
Setelah pertemuan pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2009 lalu itu, muncul opsi memajukan cagub dari PDIP Joko Widodo atau Jokowi dengan Ahok. Sebuah deal politik untuk Pilkada DKI tengah digagas.
Sikap PDIP di Pilkada DKI mulai terpetakan. Mega dengan Gerindra yang memajukan Jokowi dan Ahok, sedang Taufiq bersama koalisinya dengan PD yang mengusung Foke dan Adang.
Alasan Taufiq berkoalisi dengan Foke memang berdasarkan alasan pragmatis. Foke selama ini dalam berbagai survei selalu unggul. Kepopulerannya pun tidak ada yang mengalahkan diantara cagub yang lain. Berpasangan dengan Foke, tentu dianggap akan memuluskan jalan meraih kursi menjadi penguasa Jakarta.
PDIP membutuhkan Jakarta untuk modal bertarung di 2014. Jakarta adalah barometer, bila PDIP memiliki kekuasaan saja di ibukota, akan mudah melakukan konsolidasi di kota metropolitan ini.
Berbeda dengan Taufiq, Mega lebih berpikir ideologis. Sejak Pilpres selesai, kebijakan Mega jelas, tidak ada kompromi dengan PD. Mungkin saja ini karena 'luka lama' Mega pada SBY yang 2 kali mengalahkannya dalam Pilpres.
Karena itu, tak heran tawaran Prabowo untuk berkoalisi menghadang PD dengan jagoannya pun diberi sinyal positif Mega.
Lalu apakah PDIP akan memilih Foke atau bersama Gerindra? Semuanya masih dalam tahap kompromi. Komunikasi politik terus dilakukan.
Hari ini sampai Senin (19/3) akan menjadi hari yang penting. Semua kemungkinan masih terbuka. PDIP masih mungkin mengambil keputusan berani dengan berkoalisi bersama Gerindra mengusung Jokowi.
Atau juga, PDIP mengambil pilihan pragmatis dengan membiarkan Adang maju bersama Foke dengan strategi mendukung dari jauh. Atau mungkin membatalkan Adang yang kadung disebut Anas untuk maju bersama Foke.
Pastinya, kita tunggu saja keputusan PDIP. Bisa saja lobi politik tingkat tinggi mengubah semua prediksi yang ada. Politik adalah politik, tak ada kawan dan lawan yang abadi.
(ndr/nvc)