Darmono menilai, alasan inkonstitusional yang dijadikan dasar pengajuan gugatan tersebut tidak jelas. Menurutnya, hampir 90 persen negara-negara di dunia ini menganut sistem yang memberi wewenang pada jaksa untuk melakukan penyidikan.
"Lebih-lebih perkara korupsi dan pelanggaran HAM berat yang umumnya pelakunya mempunyai latar belakang jabatan, pendidikan yang tinggi, pengalaman yang banyak, modus tindak pidananya tinggi dan canggih, sehingga penanganan kasusnya harus profesional. Dan jaksa secara umum punya kemampuan untuk itu," ujar Wakil Jaksa Agung, Darmono saat dihubungi detikcom, Selasa (21/2/2012) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terhadap alasan gugatan yang menyatakan, kewenangan ganda yang dimiliki jaksa membuat penanganan perkara korupsi menjadi subjektif, Darmono tidak sepakat. Dijelaskan dia, kewenangan penyidikan yang dimiliki jaksa justru membantu jaksa dalam melakukan penuntutan yang tepat.
"Oh tidak mungkin (tidak objektif), karena penanganan perkara tidak hanya berhenti di tangan jaksa, tapi masih diuji lagi di pengadilan. Dan di pengadilan itu, berhasil tidaknya penuntutan adalah tanggung jawab jaksa, sehingga wajar jaksa harus memahami perkara sejak proses penyidikan," tandas mantan Pelaksana Tugas Jaksa Agung ini.
Sebelumnya diberitakan, seorang PNS asal Kabupaten Seram Barat, Dzainudin Kaisupy mengajukan gugatan uji materi terhadap kewenangan jaksa menjadi penyidik sekaligus penuntut dalam kasus korupsi. Dzainudin menguji materi UU No 16/2004 tentang Kejaksaan pasal 30 ayat 1 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menilai pasal tersebut inkonstitusional karena bertentangan dengan pasal 28 d ayat 1 dan 28 j ayat 2 UUD 1945.
(nvc/ans)