Nur Fadliyati (40), bersiap meninggalkan tempat biasa ia mangkal berjualan kroto. Maklum, kroto dagangannya sudah mulai menipis karena diborong para penggemar burung hias.
Nur bukan pedagang baru khusus semut rangrang di Pasar Burung Mester, Jatinegara. 4 tahun dia setia berjualan makanan burung, meski sekelilingnya menjajakan makanan burung kemasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kroto, katanya, khusus didatangkan dari Lampung. Setiap hari dia harus mengeluarkan modal sekitar Rp 500 ribu untuk membeli kroto dari bandar langganannya. Satu kilogram kroto dihargai Rp 100 ribu oleh bandar, dan Rp 120 ribu kepada konsumen.
"Kadang bisa juga diecer Rp 5 ribu," jelas Nur.
Nur bercerita, semut rangrang tersebut merupakan hasil perburuan masyarakat di hutan Lampung. Semut tersebut jarang ditemui di perkotaan, karena mereka biasa hidup di pohon-pohon hutan.
Kroto menjadi pilihan pakan burung sudah sejak lama. Pembelinya pun tentenya orang-orang yang khusu menggemari burung-burung hias.
"Dibandingkan pakan kemasan, katanya gizi kroto bagus buat burung," tuturnya.
Selain Nur, ada Ninik (40) yang juga berjualan kroto. Jika dibandingkan dengan Nur, perempuan berbadan kurus ini lebih lama berjualan kroto. Dia berjualan pakan ternak tersebut sejak tahun 1988.
Namun, lain dulu lain sekarang. Di awal dia menjajakan pakan burung di daerah tersebut kroto yang dia jajakan bisa sampai 25-30 kilogram perhari.
"Sekarang paling cuma 5 kilogram sehari," ujarnya.
Sama dengan Nur, kroto yang dijualnya berasal dari Lampung. "Kalau dari Jakarta enggak ada pengepulnya," kata Ninik.
Disinggung mengenai wabah ulat bulu yang marak menyerang beberapa kota di Indonesia disebabkan maraknya penjualan kroto, baik Nur atau Ninik menolak dikatakan apa yang mereka lakukan sebagai penyebab menyebarnya ulat bulu.
"Dari dulu juga sudah banyak yang jualan kroto, kalau gara-gara kroto dijual kenapa dulu enggak ada wabah ulat bulu," kata Ninik.
(ahy/ndr)