Tak lama, pesawat menapakan kaki di bandara yang dinamakan sesuai nama tetua suku Amungme, yang membantu penemuan gunung 'emas' Papua. Sebuah ban berukuran 2 meter dan traktor menjadi simbol dari bandara yang diresmikan pada Juli 2008 lalu.
Bersama rombongan dari Departemen Luar Negeri, sejumlah wartawan bermaksud mengunjungi Grasberg di ketinggian 4.285 meter, salah satu gugusan pegunungan Jayawijaya yang juga lokasi tambang PT Freeport.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah melewati pos penjagaan di area perusahaan tambang tersebut, hamparan hutan lebat berbaris rapi. Dari bus tampak beberapa warga lokal dan pendatang yang berjalan menuju Sungai Otomona.
Aliran sungai yang dialiri buangan sisa pengolahan tambang ini menjadi mata pencaharian ribuan penambang tradisional. Mereka pendulang emas tradisional. Menurut seorang penduduk, untuk bisa menambang di lokasi ini, seseorang harus membayar kepada warga lokal, selaku pemilik adat kawasan tersebut.
1 Jam perjalanan, di mile 50, di ketinggian 1.800 meter, bus bermesin buatan Amerika Serikat berhenti. Penumpang turun untuk ke kamar kecil. Tampak seorang warga lokal dari suku Amungme, yang juga pekerja tambang duduk di tempat perhentian bus untuk pekerja.
"Saya Aringgus, tinggal di atas, di Banti (kawasan pemukiman Suku Amungme di pegunungan Jayawijaya)," ucapnya memperkenalkan diri.
Perbincangan singkat itu terpotong, bus mesti kembali bergerak. Di kecepatan 40 Km per/jam, jalanan semakin terjal dan menanjak. Ada juga jalanan mulus dilalui, keterangan petugas menyebutkan jalanan itu dibuat dari bahan sisa tambang.
Di kanan dan kiri jalan, pemandangan panorama pegunungan menjulang dan hutan lebat menyejukan mata. Namun kabut mulai menyapa, jarak pandang pun hanya hanya sebatas 200 meter.
Kemudian bus mesti memasuki terowongan sepanjang 1 Km yang menembus bukit. Setelahnya, tampak kawasan pemukiman Hidden Valley bagi ekspatriat yang terletak diantara pegunungan.
Bus terus melaju, beberapa karyawan tampak tengah berjalan di sisi jalan. Akhirnya Tembagapura, setelah 1 jam 30 menit perjalanan, kota di tengah hutan lebat di ketinggian 2.600 meter kami sentuh. Dibangun pada tahun 1970-an, pemukiman ini dibangun khusus bagi pekerja tambang.
Suasananya tampak asri. Lapangan sepakbola hingga fasilitas keagamaan ada di kawasan ini. Di tempat yang disediakan bagi tamu, instruksi keselamatan soal penambangan dijelaskan. Selain itu, dibagikan pula peralatan keselamatan seperti rompi, pelindung kepala, serta sepatu khusus.
Istirahat 30 menit, lepas menyantap penganan ringan perjalanan dilanjutkan. Jalan semakin menanjak, terowongan sepanjang 800 meter kembali kami lalui. Di sisi jalan tampak pos jaga Brimob Mabes Polri kokoh berdiri di lereng pegunungan.
Semakin mendaki, es atau salju abadi mulai jelas dipelupuk mata. Informasi menyebutkan, areal salju abadi di Taman Nasional Laurentz di Pegunungan Jayawijaya semakin berkurang.
"Hasil penelitian, ini bukan karena aktivitas penambangan," bela juru bicara Freeport Mindo Pangaribuan di sela-sela perjalanan.
Dahulu, salju abadi ini menjadi alasan dilakukannya ekspedisi yang pertama kali pada 1936, yang dipimpin Anton H. Coljin. Warga Belanda ini tertarik untuk melihat adanya salju di pegunungan tropis.
Akhirnya rombongan tiba di perhentian selanjutnya, di ketinggian 3.600 meter. Di sini kami berhenti, dan kemudian naik kereta gantung yang berkapasitas 100 orang. Alat ini biasa digunakan para pekerja tambang.
Sekitar 10 menit, kereta gantung menepi. Di sini kami melanjutkan kembali perjalanan dengan bus. Saat itu cuaca dingin telah terasa, pandangan juga tertutup kabut.
Setelah 20 menit perjalanan, sekitar pukul 10.00 WIB, lokasi bernama Grasberg di ketinggian 4.600 meter kami capai. "Jangan bergerak banyak, kadar oksigen rendah. Anda bisa cepat lelah," ujar seorang petugas.
Di sini, pandangan begitu jelas, tiada kabut yang menutupi sinar mentari. Alat berat juga tampak mondar-mandir mengangkut barang tambang. Diperkirakan cadangan di daerah Grasberg tinggal 1,2 milyar ton dan mampu dipakai hingga 2015.
Hembusan Angin yang cukup kencang menambah dinginnya suhu di sekitar. Rombongan pun masuk ke sebuah pos untuk mendapatkan penjelasan.
"Penambangan kini dipindahkan ke dalam jalur bawah tanah. Cadangan di sana mencapai 2,5 bilion ton," sebut seorang petugas,
Kadar oksigen yang menipis membuat beberapa anggota rombongan tumbang. Masker oksigen pun harus dikenakan. Usai penjelasan, kami menatap ke luar, gugusan gunung yang ditambang kini menjadi lubang sedalam beberapa kilometer.
Sayangnya gunung es, yang ingin kami pandang lebih jelas tidak terlihat. Kabut menutup lokasi salju abadi tersebut. Tidak berlama-lama, setelah 30 menit rombongan pun turun. Membawa kenangan telah mencapai salah satu puncak Jayawijaya. (ndr/lrn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini