Menurut Direktur Ekskutif Lembaga Riset Informasi/JohansPolling Johan O Silalahi, rekayasa tersebut biasanya terjadi di daerah-daerah yang sedang menyelenggarakan pilkada.
"Tidak menutup kemungkinan pesanan. Biasanya terjadi di daerah-daerah penyelenggara pilkada. Mereka melemparkan data-data rekayasa kepada masyarakat umum," ujar anggota Forum Peneliti Opini Publik ini pada detikcom, Selasa (3/11/2008).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harusnya tahu betul lembaganya seperti apa, dicek dulu, harus tahu alamat dan kelengkapan administrasinya," sarannya.
Bagi Johan, rekayasa yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei "nakal" merupakan pelacuran intelektualitas dan idealisme.
Johan juga memandang sah-sah saja lembaga survei opini publik (pollster) merangkap sebagai konsultan politik.
"Rangkap itu sah-sah saja. Tapi ada bagian yang terpisah, pollster lebih pada masalah yang bersifat strategis misalnya dalam memberikan saran dan strategi. Sedangkan konsultan lebih pada turun ke lapangan," beber Johan.
Agar dua hal itu tidak tumpang tindih, lembaga survei jangan sampai menerima "proyek" sebagai pollter dan konsultan politik sekaligus, harus pilih salah satu.
Sebab jika rangkap jabatan itu terjadi dikhawatirkan terjadi manipulasi data-data pemilu serta rekayasa hasil polling untuk membentuk opini masyarakat.
"Ditakutkan data-data akan dimanipulasi, dan juga rekayasa hasil polling untuk membentuk opini publik," tandasnya.
Ditanya soal akreditasi lembaga survei, Johan mengaku tidak setuju. "Jangan sampai ada kecenderungan dari pemerintah semakin represif terhadap lembaga survei," katanya.
=========================== (fiq/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini