"Isu seksualitas direduksi menjadi pornografi semata, dalam definisi asal menimbulkan birahi orang lain -- yang pasti laki-laki -- adalah pornografi," ujar anggota Pansus RUU Pornografi dari FPDIP Eva Kusuma Sundari kepada detikcom, Senin (15/9/2008).
Eva mencontohkan, perempuan dengan lipstik dan bau wangi parfum yang menjadi ekspresi seksualitasnya bisa dijerat dengan UU ini. Apalagi, imbuh dia, di pasal 14 menyatakan melarang mempertontonkan lingga-yoni dalam budaya, karena termasuk barang asusila.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eva juga mengatakan UU ini mengerdilkan orang dewasa yang dianggap tidak mampu menentukan baik dan buruk. Seks menjadi wilayah negara.
"Suami istri dilarang mengkonsumsi, membuat dan menyimpan pornografi. Keduanya bisa dikenakan pidana dan diancam hukuman penjara dan denda yang mengalahkan pasal-pasal dalam UU Korupsi dan illegal logging," tukas dia.
Definisi pronografi, tambah Eva, karet dan subyektif sehingga mulitafsir. Potensi korban jeratan UU ini lebih banyak perempuan, merujuk ketentuan umum pasal 1.
"Sementara di preambule penjelasan tujuannya melindungi perempuan dan anak. Tidak ada perlindungan terhadap perempuan, semua model adalah pelaku. Bagaimana dengan trafficking, candid camera, dan force prostitude?" ujarnya.
Dalam RUU Pornografi ini, negara dinilai memasuki wilayah private penduduknya, sebagaimana yang tercantum di tujuan UU pasal 1 C.
"UU ini sebagai pendidikan moral dan akhlak. Sementara NKRI bukan negara agama," kata dia.
Menurut RUU Pornografi, pengertian pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalamm bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh atu bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. (nwk/nrl)