Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mencatat Pulau Sangihe yang menghadap Samudera Pasifik ini punya kelembaban tinggi. "Dari data klimatologi tampak daerah ini hampir tidak mengalami musim kemarau sehingga peluang hujan cukuop besar sepanjang tahun," kata Widada Sulistya dari BMG Jakarta pada 1995.
Kelemahan lainnya dari gerhana di Sangihe, puncaknya terbilang singkat, yakni cuma 1 menit 52,8 detik. Tak heran dari 5.000 orang Jepang yang berburu gerhana 1995, "Sekitar 2,000 orang ke India, dan sekitar 3.000 orang ke Thailand Malaysia, Kamboja, dan Vietnam," kata Dr. Chihiro Tanaka dari Universitas Waseda yang datang ke Tahuna, Sangihe.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(Baca juga: Lonceng Gereja dan Malam Kudus Menyambut Gerhana Matahari Total 1995 di Sangihe)
Tanaka bersama delapan orang lainnya bertolak dari Tokyo ke Tahuna memakai biro perjalanan Fujimatso. Saat itu, mereka menginap di Hotel Nasional Tahuna.
Lantas mengapa mereka memilih ke Indonesia? Salah satu rombongan tur Fujimatso bernama Sato mengatakan, ia dan rekan-rekannya memang mencintai Indonesia. Sato rindu Indonesia, karena pernah tinggal di Manado pada masa Perang Dunia II. Indonesia, kata Sato, "Masyarakatnya sangat ramah."
Pemburu gerhana asal Jepang tercatat sudah ke Indonesia sejak fenomena alam langka ini terjadi pada 18 Mei 1901. Peneliti Jepang membawa peralatan seberat empat ton saat gerhana 11 Juni 1983.
Turis Jepang juga bisa dijumpai di Jembatan Ampera Palembang saat gerhana matahari total melintasinya pada 18 Maret 1988. (Baca juga: Gerhana 1988, Warga Palembang Terpesona Turis Jepang)
Tahun ini, menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya, warga negara Jepang kembali membanjiri kota-kota yang dilintasi gerhana. Arief mencontohkan, hotel-hotel di Palu, Sulawesi Tengah, sudah habis direservasi wisatawan mancanegara sejak Desember 2015. "Terbanyak (pemesannya) adalah wisman dari Jepang,"ujarnya. (okt/okt)