Sayang, para hakim agung emoh dengan keterlibatan KY itu dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rekrutmen mandiri ini dilakukan oleh MA sejak tahun 2003. Berdasarkan penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN), meskipun panitia rekrutmen MA telah melibatkan beberapa instansi terkait namun celah KKN masih bisa ditembus dalam proses rekrutmen calon hakim (cakim).
"Dari hasil penelitian ini ditemukan beberapa praktik KKN bahwa peserta yang
lolos sebagian mempunyai hubungan dengan pejabat dari instansi terkait,
mempunyai hubungan dengan orang MA dan praktik suap," demikian hasil riset KHN yang dikutip detikcom, Jumat (10/4/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bentuk KKN yang muncul saat proses seleksi adalah panitia seleksi menyerahkan jawaban kepada peserta. Ditemukan juga panitia menjanjikan kelulusan dengan membayar sejumlah uang. Selain itu birokrasi/sistem membuka peluang untuk KKN. Ada juga temuan calon tidak memenuhi syarat fisik dan IP tapi tetap lolos (salah satunya adalah anak Ketua dan Wakil Ketua PT).
"Panitia minta uang lembur pada peserta yang lulus, panitia hanya ngobrol di depan saat ujian dilakukan, yang lulus anak pejabat/hakim/titipan, kredibilitas diragukan dan KKN semakin transparan," papar KHN.
Oleh sebab itu, KHN merekomendasikan perlu dilakukan pembenahan dalam proses rekrutmen calon hakim agar mampu menjaring calon-calon hakim yang berkualitas dan bermoral agar citra lembaga peradilan menjadi baik dan mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Salah satu upaya untuk mendapatkan SDM hakim dengan kualitas intelektual dan moral yang tinggi adalah melakukan rekrutmen secara terbuka dengan proses seleksi yang transparan, jujur, adil, dan akuntabel. Tanpa adanya proses seleksi demikian dikhawatirkan hasilnya tidak maksimal. Proses rekrutmen yang berkualitas memberi kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang berkualitas.
"Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan seperti yang disampaikan para cakim dan hakim adalah pembenahan terhadap kualifikasi pelaksana seleksi cakim dengan mempertimbangkan keikutsertaan pihak luar MA," cetus KHN.
Setelah muncul rekomendasi KHN itu, pada tahun 2009, DPR membuat regulasi bahwa setiap rekrutmen hakim harus melibatkan KY. Namun hal ini berjalan alot dan hingga saat ini MA belum ikhlas melaksanakan rekrutmen itu bersama KY. Para hakim agung malah menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) akhir Maret 2015.
Para hakim agung yang menggugat ke MK itu adalah hakim agung Imam Soebchi, hakim agung Suhadi, hakim agung Prof Dr Abdul Manan, hakim agung Yulis dan hakim agung Burhan Dahlan.
"Kita ini lembaga penguasa kehakiman. Jadi kita ini malah dijamin UUD 1945 dalam pengawasan para hakim," ucap Suhadi.
Toh, tidak semua hakim agung setuju dengan 'pengkerdilan' KY itu. Hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun memilih berseberangan dan menyatakan gugatan ini tidak tepat.
"Mempersoalkan KY dalam ikut menyeleksi calon hakim bukan domain Ikahi sebagai organisasi hakim melainkan domain MA di samping adanya indikasi menolak unsur pengawasan oleh KY," kata Gayus.
(asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini