Dalam beberapa literatur maupun kesaksian para saksi sejarah, tidak bisa dipastikan kondisi Supriyadi pasca pemberontakan PETA yang meletus di Blitar pada 14 Februari 1945. Bila saat ini muncul beberapa orang yang mengaku Supriyadi, maka wajar saja.
Di mata keluarga, sosok Supriyadi dikenal sebagai seorang pendiam dan tak banyak bicara. Bahkan pertemuan dengan pihak keluarga juga jarang dilakukan, karena kebanyakan mereka bersekolah di luar daerah. Apalagi ayah Supriyadi, Darmadi, yang menjabat sebagai wedono sering kali harus berpindah tugas, sehingga membuat kesempatan untuk berkumpul jarang.
"Supriyadi bahkan tidak mengetahui jika kami sekeluarga berpindah ke Blitar pada tahun 1952," kata RK Soeroto Darmadi, adik tiri Supriyadi, saat ditemui detiksurabaya.com di rumahnya di Jalan Soeprijadi 46, Blitar, Rabu (13/8/2008).
Menurut Soeroto, dirinya terakhir kali bertemu Supriyadi jauh sebelum pemberontakan PETA di Blitar meletus. Saat itu dia beserta keluarga masih tinggal di Nganjuk, dan masih bisa berbincang begitu bebas, karena usianya masih kecil dan masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Dalam budaya Jawa memang tidak bisa leluasa kaum muda berbincang bebas dengan yang lebih tua karena ada pembatasan," terang dia.
Dalam keluarga, Soeroto hanya mengetahui bahwa Supriyadi lebih dekat dengan Susileh (ibu kandung Soeroto, red) dan Setyani Darmadi (kakak Soeroto). Kedekatan tersebut karena Supriyadi tidak begitu mengetahui sosok ibu kandungnya sendiri (Rahayu), yang meninggal dunia ketika melahirkan adik kandungnya. Sehingga yang dia tahu, ibu kandungnya adalah Susileh, bukan Rahayu.
"Supriyadi baru mengetahui jika ibu kandungnya meninggal dunia sewaktu dewasa. Meski begitu kedekatannya dengan Bu Susileh memang lebih, jika dibandingkan kedekatannya dengan ayah kandungnya," ujarnya.
Saat masih kecil, nama Supriyadi sebenarnya adalah Priambodo. Penggantian nama tersebut dilakukan keluarga karena saat itu Supriyadi sakit-sakitan, dan mereka masih tinggal di Trenggalek.
"Agar tidak sakit-sakitan, dalam budaya Jawa seringkali penggantian nama dilakukan sebagai simbol tolak bala," terang Soeroto.
Ditambahkan dia, hal-hal yang bersifat keluarga seperti ini yang bisa menjadi pembuktian kebenaran dari sosok Supriyadi. Sehingga kalau ada orang yang mengaku sebagai sosok Supriyadi, maka pihak keluarga bisa dengan mudah untuk mencari kebenarannya.
"Masalah sejarah bisa dipelajari, tetapi jika kenangan-kenangan bersama keluarga hanya Supriyadi beserta kami yang mengalaminya," pungkas dia.
(bdh/bdh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini