Seluruh prosesi dilaksanakan dengan adat jawa yang kental yang menjadikanya terasa unik. Setelah lonceng dibunyikan secara bertalu-talu, lantunan kidung warta gembira dinyanyikan dalam Bahasa Jawa kromo inggil oleh seorang pemazmur yang telah berusia lanjut.
Dia duduk bersimpuh di atas panggung dengan ketinggian sekitar 1 meter, dan diiringi dengan ketukan ritmis laras pelog gamelan jawa yang dimainkan dengan sangat takzim oleh sekitar 15 orang.
"Santi Ratri......Ing Ratri dalu adi...Prapengan Miyarsi. Malaekat Ngandiko ojo podo wedhi! Ngertio aku ngusung kabar kabungahan agung marang wong sabongso. Dino iki kang panebus wis miyos ing kuthane Dawud. Panjenengare iku sang Kristus Gusti...Alleluia...," petikan lagu malam kudus yang dinyanyikan dalam Bahasa Jawa halus.
Keunikan lain dalam pelaksanaan misa malam natal di Gereja Puhsarang adalah susunan jema'at yang mengikutinya. Seluruh jema'at, baik yang berpangkat maupun rakyat jelata diberikan tempat sama dengan lesehan di pelataran gereja.
Penyelenggaraan misa dengan menggunakan bahasa jawa ini sengaja dipertahankan hingga sekarang, selain untuk memenuhi permintaan jema'at juga bertujuan menuntun jema'at yang sudah berusia lanjut agar tetap dapat menjalankan ibadahnya dengan khusyuk.
Pantauan detiksurabaya.com menunjukkan hampir separo jema'at misa malam natal di Gereja Puhsarang berusia lanjut. Kaum laki-laki mengenakan pakaian batik lengan panjang dan berkopiah, sedangkan yang wanita mengenakan kebaya yang dipadu dengan kain jarik serta mengenakan sanggul.
Diantara mereka masing-masing memegang Buku Kidung Adi atau Madah Bakti dalam Bahasa Jawa. Meski berusia lanjut, mereka masih tampak bersemangat mengikuti setiap prosesidalam misa malam natal tersebut.
"Ini merupakan ciri khas Gereja Puhsarang dan akan terus kami pertahankan sampai kapanpun. Kami ini prinsipnya hanya memenuhi apa yang diinginkan umat," kata Ketua I Pengurus Lourdes, Lasijo saat ditemui seusai mengikuti jalanya misa malam natal.
Menurut Lasijo, penggunaan Bahasa Jawa dalam pelaksanaan misa merupakan tradisi yang tak akan ditinggalkan. Hal ini untuk mengenang perjuangan penyebaran agama Kristen di Puhsarang.
Lanjutnya, pengguaan bahasa jawa ini juga bentuk kebijakan gereja untuk mengangkat tradisi budaya setempat melalui proses inkulturasi.
"Pada saat katolik belum masuk di daerah Puhsarang, sebelum tahun 1935, masyarakat memang sudah terbiasa menggunakan gamelan dalam setiap acara syukuran. Kebiasaan tersebut lalu diteruskan oleh gereja," ungkap Lasijo.
Lasijo juga mengungkapkan jika penggunan gamelan dalam pelaksanaan misa malam natal di Gereja Puhsarang sepintas sama dengan permainan gamelan pada umumnya. Namun dalam misa malam natal, langgam yang digunakan didominasi dengan laras pelog yang berirama gembira dan memiliki nada lebih tinggi.
Satu hal lain yang menjadi keunikan pelaksanaan misa malam natal di Gereja puhsarang adalah adanya tradisi persembahan oleh jema'at. Dalam pelaksanaanya, persembahan oleh jema'at ini dilakukan oleh 5 orang perwakilan. Mereka menyuguhkan berbagai sesaji yang berupa makanan dan hasil bumi.
Usai pembacaan khutbah misa dan pesan natal, seperti pada misa pada umumnya selalu ditutup dengan pembacaan do'a. Suasana semakin terasa hangat ketika seluruh jema'at saling berjabat tangan dan mengucapkan selamat hari natal.
"Sugeng natal.......Sugeng natal....," kata setiap jema'at kepada sesama jema'at lainya dengan senyum sumringah di bibir mereka.
(gik/gik)