6 Televisi Lokal di Malang Tidak Punya Izin Siaran
Kamis, 12 Jul 2007 19:56 WIB
Malang - 6 Televisi lokal di Malang belum mengantongi izin penggunaan frekuensi yang dikeluarkan direktorat jenderal pos dan telekomunikasi. Kenyataan ini terungkap dalam sosialisasi peraturan telekomunikasi yang diselenggarakan Rirektorat Jenderal Pos dan Tekemomunikasi (Ditjen Postel) dan Dinas Perhubungan Kota Malang di Hotel Kartika Graha, Kamis (12/7/2007).Padahal, sejak empat tahun silam sekitar enam televisi lokal meramaikan spektrum frekuensi di Malang. Enam televisi lokal yang melakukan program siaran antara lain Malang TV, Mahameru TV, Gajayana TV, Dhamma TV, Agropolitan TV, Batu TV dan Space Toon Malang.Televisi lokal ini bukan hanya diselenggarakan oleh lembaga siaran swasta saja tetapi juga diselenggarakan oleh institusi pemerintahan, seperti Agropolitan TV yang dikelola oleh Dinas Informasi dan Komunikasi Pemkot Batu.Meski belum memiliki izin resmi sebagai lembaga siaran swasta di Kota Malang, namun penyelenggara siaran televisi lokal ini sudah berani memasang tarif iklan. Bahkan, televisi lokal seperti Malang TV mendapat pasokan iklan cukup tinggi yang berasal dari biro iklan nasional. "Malang TV telah mengajukan izin sejak tiga tahun lalu, namun belum ada kejelasan sampai saat ini. Mungkin karena saat itu terjadi kevakuman kepengurusan KPI Daerah Jawa Timur," kata Kepala Bidang Pos dan Telekomunikasi Dishub Kota Malang A. El Zam Zami kepada wartawan.Dia mengaku, telah seringkali melakukan sosialisasi untuk penataan spektrum frakuensi baik penyelenggara siaran televisi maupun radio di Malang. Sebab, bila peralatan siar yang digunakan tidak sesuai dengan standar siaran maka dikhawatirkan akan menganggu frekuensi yang lain. Namun, sejauh ini pihaknya belum berani melakukan razia karena tidak memiliki penyidik pegawai negeri sipil (PPN) sehingga harus menggandeng aparat kepolisian untuk menindak para pengguna frekuensi liar tersebut.Zam Zami menambahkan penyelenggaraan spektrum frekuensi secara ilegal di Kota Malang menempati urutan kedua setelah Surabaya. Apalagi, saat ini jumlah kanal yang tersedia terbatas dan yang mengajukan izin siaran terlampau banyak, sehingga mereka berebut untuk mendapatkan frekuensi yang tersedia. Untuk itu harus dilakukan sertifikasi perangkat siaran. "Hanya penyelenggara siaran yang memiliki perangkat bersertifikasi yang berhak menempati kanal yang tersisa," jelasnya.Ditjen Postel mengancam akan mentertibkan pengguna frekuensi yang tidak berijin, terutama yang digunakan untuk kepentingan komersial. Bagi yang melanggar akan mendapatkan sanksi berupa hukuman 6 tahun penjara atau denda Rp 600 juta. Tahap awal akan dilakukan sosialisasi di seluruh daerah, selanjutnya berkoordinasi dengan KPI dan Kepolisian melakukan penertiban. "Penegakan hukum segera dilakukan untuk menata frekuensi sebagai ranah publik yang harus dibatasi," terangnya.
(bdh/bdh)