Ratusan lapak yang berada di lorong jalur keluar MBK tampak lengang. Lampu-lampu di depan lapak masih dinyalakan. Semua lapak itu ditutup sudah tiga bulan ini.
Pertengahan 2020, MBK ditutup sementara, kemudian angka kasus COVID-19 turun dan Kota Blitar masuk zona kuning. MBK kembali beroperasi seperti semula.
Namun penutupan total kembali dilakukan, bahkan sebelum PPKM diterapkan oleh pemerintah pusat. Jika dihitung secara kasar, selama setahun lebih pandemi melanda, hanya dua bulan para pedagang MBK bisa meraup penghasilan.
Sejauh ini, bantuan pemerintah dinilai masih minim. Pengakuan beberapa pedagang, tiga bulan terakhir ini mereka hanya sekali menerima bantuan beras seberat lima kilogram. Bantuan lain, tidak ada dan tidak pernah diterima.
"Saya gak hidup sendiri. Kalau bantuannya hanya beras lima kg cukup buat tiga hari. Ini bulannya Indonesia merdeka, kami minta wisata juga dibuka agar kami tidak semakin menderita," kata Ramona (57), seorang pedagang di lapak dalam MBK, Senin (10/8/2021).
Walaupun mereka mengaku menderita, namun mereka tetap semangat merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-76. Cara satir mereka ekpresikan dengan memajang bendera merah putih bersama beberapa lembar tulisan di kertas karton putih. Karton itu di antaranya bertuliskan 'Para Pedagang Kaliren Maneh (PPKM) jangan diteruskan', 'Pelaku Pariwisata Menangis Karena Corona PPKM Jangan Diperpanjang lagi', dan 'Jangan Menyerah Karena Corona, Indonesia Merdeka Sudah 76 Tahun'.
![]() |
"Kami itu taat sama aturan pemerintah kok. Tapi kami sudah gak mampu bertahan lagi kalau gak ada pemasukan. Wisata ditutup gak papa, tapi bantuannya itu mbok ya yang mencukupi kebutuhan kita. Karena kondisi seperti sekarang, kami mohon wisata dibuka dengan protokol kesehatan yang ketat," imbuh Novi yang sudah lima tahun mencari penghidupan di sini.
Seperti pengakuan Rusmiyati, tiga bulan terakhir hanya dapat bantuan beras lima kilogram. Sementara kebutuhannya tak hanya makan. Namun juga membayar listrik dan cicilan kredit di perbankan.
"Jadi saya masaknya sehari disuruh hanya segenggam. Lha terus buat bayarin listrik sama cicilan bank piye. Listrik gak bayar diputus, bank gak bayar saban hari ditagih di telepon. Kalau terus begini, lama-lama kami mati walaupun ndak kena Corona!," ujar Rusmiyati agak emosi.