Pakar sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si mengatakan penemuan surat wasiat yang mirip, tidak mengindikasikan mereka ada dalam jaringan yang sama. Tetapi, Bagong menyebut hal ini cenderung diindikasi sebagai korban propaganda radikalisasi internet.
Tak hanya itu, Bagong juga menyebut pelaku ZA yang beraksi lonewolf atau seorang diri, kebanyakan terjadi karena paparan radikalisme di internet.
"Bukan berarti mereka saling berhubungan atau kontak secara langsung, tapi sama-sama korban ekspansi radikalisme jaringan yang menebar radikalisme melalui internet," jelas Bagong kepada detikcom di Surabaya, Sabtu (10/4/2021).
Terlebih, Bagong menilai serangan dari dunia maya tidak mudah untuk dihindari. Sedangkan kebiasaan sosial anak juga turut mempengaruhi. Menurut Bagong, anak yang terlihat diam itu tidak dapat dikategorikan aman, karena serangan dimulai dari dunia maya dan tidak bisa diduga.
Model lonewolf ini, tambah Bagong, merupakan pergeseran cara terorisme dalam melakukan serangan. Menurut Bagong, pelaku serangan bertindak secara amatir dan tidak ada target yang jelas, hanya didorong oleh emosional saja.
"Penyerangan lebih pada simbolik, seperti tokoh atau lembaga yang dianggap musuh. Kan polisi dianggap musuh oleh mereka (teroris)," imbuhnya.
Bagong juga menyebut anak muda yang memiliki psikologis rentan hingga korban broken home mudah terdoktrin.
Bagong menambahkan saat ini, pemerintah sudah berusaha memblokir situs yang diduga menyajikan konten radikalisme. Namun, hal ini bukan langkah paling efisien. Saat ini pembuatan situs sudah sangat mudah dilakukan seperti kata pepatah gugur satu tumbuh seribu.
"Persenjataan dalam era post-modern itu diblokir satu mereka bisa buat lagi saat itu juga, kuncinya literasi kritis dari anak muda," tambah Bagong.
Untuk itu, Bagong mengatakan literasi kritis sangat diperlukan. Agar milenial tidak mudah percaya hoaks dan mempertanyakan informasi yang didapat melalui internet atau sumber manapun.
Tak hanya itu, Bagong menambahkan hal ini berasal dari kesadaran individu, ekspansi radikalisme dapat dicegah dengan peran aktif keluarga. Dia mengatakan butuh mekanisme deteksi dini dari orangtua ketika mengetahui kejanggalan perilaku dan pemikiran anak.
"Orang tua jangan berpikir kalau anak masuk kamar aman, malah yang nggak keluar-keluar bahaya," kata Bagong.
"Kalau anak misalnya mulai mempersoalkan cara orang tuanya berpakaian, harus berjilbab lebih tertutup, itu orang tua harus ada mungkin anak ini dipengaruhi," lanjutnya.
Selain itu, peran banyak pihak juga dibutuhkan seperti guru sebagai pendidik. Karena banyak yang masih merasa paparan radikalisme, khususnya dari internet tidak dirasa serius, padahal hal ini merupakan hal serius dan perlu ditangani.