Marak Teroris Generasi Milenial, Pakar Ajak Waspada Doktrin di Medsos

Marak Teroris Generasi Milenial, Pakar Ajak Waspada Doktrin di Medsos

Hilda Meilisa - detikNews
Kamis, 08 Apr 2021 10:17 WIB
Ilustrasi ancaman bom
Ilustrasi (Foto: Luthfy Syahban/detikcom)
Surabaya -

Peristiwa bom bunuh diri di Gerbang Gereja Katedral Makassar pada Minggu (28/3/2021) dan penyerangan Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021) sempat menghebohkan masyarakat. Diketahui, kedua pelaku merupakan anak muda milenial.

Saat itu usai melancarkan aksinya, para pelaku sengaja meninggalkan surat wasiat. Isi dari surat wasiat yang ditinggalkan juga memiliki kesamaan. Hal ini memicu kecurigaan publik jika para pelaku memiliki keterkaitan satu sama lain.

Setelah dilakukan investigasi, ditemukan fakta jika pelaku bom bunuh diri di Gerbang Gereja Katedral Makassar dan penyerangan Mabes Polri masih berusia produktif. L, pelaku bom bunuh diri merupakan laki-laki berusia 26 tahun. Sedangkan ZA, pelaku penyerangan Mabes Polri, perempuan berusia 25 tahun.

Psikolog yang merupakan Dosen Fakultas Psikologi Unair, Ilham Nur Alfian MPsi mengatakan doktrin ideologi kekerasan dan radikalisme tidak ada konotasinya dengan masyarakat usia produktif.

"Saat ini konteksnya adalah model doktrinasi ideologi kekerasan dan radikalisme tersebut dilakukan dengan media-media sosial," papar Alfian di Surabaya, Kamis (8/4/2021).

Koordinator Bidang Kuliah Bersama Pusat Pendidikan Kebangsaan, Karakter dan Inter Profesional Education (PPK2IPE) Unair mengingatkan anak muda jangan sampai mudah terpapar doktrin secara virtual.

"Terorisme modern menyasar pada propaganda virtual dengan bantuan media untuk melipat gandakan teror dan pelaku teror di suatu negara, termasuk Indonesia. Serangan teroris modern mengalami penurunan dalam hal kualitas namun meningkat dalam hal popularitas," imbuhnya.

Lihat Video: Teror Bomber Milenial

[Gambas:Video 20detik]



Tak hanya itu, aktivitas masyarakat usia produktif yang gemar berselancar di media sosial, bisa menjadi alasan mereka mudah terpapar ideologi kekerasan dan terorisme.

"Dalam konteks penggunaan propaganda virtual ini lah kelompok milenial atau yang saat ini masuk usia produktif pasti sangat berisiko dan rentan menerima doktrin tersebut (Kekerasan dan terorisme, Red) karena aktivitas mereka memang berselancar di media sosial," jelas Ilham.

Ilham menyebut masyarakat yang terpapar propaganda virtual cenderung melancarkan pola serangan terorisme yang bersifat "Lone Wolf". Mereka cenderung melakukan aksinya dengan skala kecil dan acak.

"Di sinilah bahayanya, serangan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja," tambah Ilham.

Selain itu, Ilham mengatakan karakteristik seorang teroris secara psikologis juga sulit untuk diidentifikasi. "Agak sulit memang mengidentifikasi karakteristik psikologis apa yang secara khusus bisa mengidentifikasi kecenderungan orang-orang yang akan melakukan tindakan terorisme," paparnya.

Di kesempatan yang sama, Ilham berpesan dalam mencegah masyarakat tidak mudah terpapar ideologi kekerasan dan terorisme, maka harus berhati-hati dalam menerima segala informasi.

"Yang jelas critical thinking dalam situasi banjir informasi di media sosial menjadi penting," pungkas Ilham.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.