"Telaga Ngebel kalau dalam masyarakat lokal disebut Telaga Nglingi," kata Budayawan Ponorogo Gondo Puspito kepada detikcom, Sabtu (13/2/2021).
Gondo menjelaskan kenapa disebut Telaga Nglingi sebab secara teritorial luasan telaga berada di Dukuh Nglingi, Desa/Kecamatan Ngebel.
"Nglingi artinya ngelingi atau mengingat peristiwa besar terjadinya telaga yang dikenal dengan legenda Baruklinting," ujar pria 40 tahun ini.
Namun seiring bertambahnya waktu, lanjut Gondo, warga lebih mengenal Telaga Ngebel. Karena berada di Kecamatan Ngebel. Luas telaga sendiri mencapai 150 hektare dan berada di ketinggian 610 mdpl. Berjarak 24 kilometer ke arah timur dari pusat kota Ponorogo.
![]() |
"Sementara kata Ngebel berasal dari kata ngembel atau berair," kata Gondo saat ditemui di rumahnya, Jalan Kiai Solihin, Dukuh Tawangsari Kelurahan Paju, Kecamatan Kota.
Sebelum ada jalan yang melingkari Telaga Ngebel, lanjut Gondo, warga setempat sempat membuat jalan penghubung di salah satu sudut telaga. Jalan itu saat ini dikenal dengan nama Watu Mambang.
Watu Mambang mempunyai kisah sendiri. Kisahnya bermula saat Ronggo Dadung atau Ronggo Tali merobohkan kayu hutan untuk menjadi sebuah jembatan. Kemudian Ronggo Dadung menggali untuk menutup kayu tadi. Kejadian ini jauh sebelum Belanda datang ke Ngebel.
"Berawal dari inilah watu kemambang atau wot (jembatan) ini terjadi. Karena untuk akses transportasi lingkar telaga," tukas Gondo.
Gondo mengatakan secara toponimi, Kecamatan Ngebel mempunyai dua desa yakni Gondowindo dan Ngebel. Desa Gondowindo mempunyai sejumlah dukuh yakni Dukuh Nglingi, Dacan, Trungo, Dawuk, Batik, Brambang, dan Bliket. Sementara Desa Ngebel hanya mempunyai dua dukuh yakni Dukuh Sekodok dan Sobo.
Para perampok sendiri tinggal di Dusun Keleng. Keleng berarti hitam karena di sini jadi tempat berkumpul para perampok. Pimpinan perampok adalah Brotosentono dengan gelar Prawiro Broto yang merupakan salah satu keturunan Raden Katong.
"Perampoknya sendiri ketahuan mencuri gamelan kadipaten, perampokan gamelan dianggap pemberontakan karena gamelan menjadi alat orkestra sakral," tandas Gondo.
Pada saat itu, penyerangan Raden Ronggo ke Sekodok menjadi polemik. Serangan Raden Ronggo sempat dianggap melakukan ekspansi wilayah. Sebab, Madiun merupakan milik Yogyakarta sedangkan Ponorogo milik Surakarta.
Selain soal peperangan, lanjut Gondo, dalam pupuh wirangrong dan gambuh 389 di Ngebel juga ada peninggalan. Seperti bale batur, kucur betoro, sumber padusan, sumber upas dan clangap warih.
"Clangap warih ini peninggalan Belanda untuk sumber irigasi warga," tandas Gondo.
Gondo menerangkan cerita sejarah Ngebel sendiri sudah ditulis oleh Pangeran Hamengku nagara (PB V), MNg Ranggasutrasna, RNg. Sastradipuro, Pangeran Junggut, Kyai Kasan Besari dan Mohammad Minhad.
"Mereka merupakan penulis tanbangraras atau centhini," pungkas Gondo.