Di Jawa Timur, berdasarkan data dari laman https://www.infocovid19.jatimprov.go.id/per tanggal 21 Januari 2021, angka kasus COVID-19 di Jatim bertambah 1.134 orang. Total kasus COVID-19 terkonfirmasi di Jatim ada 103.286 kasus.
Menurut Pakar Kesehatan Masyarakat dan Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo, PPKM kali ini tidak seefektif jika dibandingkan dengan PSBB yang pernah diterapkan.
"Nggak efektif. Bandingkan dengan PSBB dulu. Surabaya Raya dan Malang Raya waktu PSBB itu cukup ketat, artinya aktivitas yang non esensial nggak boleh jalan. Yang boleh jalan yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat, kesehatan, dan lain-lain," kata Windhu saat dihubungi, Jumat (22/1/2021).
PPKM yang diberlakukan sejak 11 Januari tersebut dinilai lebih longgar. Pasalnya kegiatan non esensial diperbolehkan berjalan, meski ada batasan. Baginya, jika pembatasan yang dilakukan substansinya nyaris tidak sama dengan namanya.
"Jadi yang dulu lebih ketat saja kurang efektif hanya ngerem sedikit apalagi sekarang. Sekarang tertutup dengan berita vaksin, jadi orang nggak ngereken (Menghiraukan). Dulu juga sweeping masih ketat, sekarang hanya sesekali. Kita ini hanya pasang nama aja, kalau sudah melakukan pembatasan tapi substansinya nyaris tidak sama dengan namanya," jelasnya.
Selain itu, bertambahnya kasus COVID-19 di Jatim juga dipengaruhi kedisiplinan protokol kesehatan di masyarakat yang mulai melorot. "Pakai masker, jaga jarak juga kan melorot. Dulu masih lumayan 75%, sekarang hanya 50% masyarakat yang masih disiplin prokes," ujarnya.
Windhu menyarankan agar pemerintah melakukan pembatasan pergerakan keluar masuk masyarakat. Karena, rantai penularan virus bisa diputus dengan pembatasan pergerakan dan pembatasan interaksi.
"Jangan hanya nama aja, kalau nggak sungguh-sungguh lebih baik nggak ada PSBB atau PPKM. Yang lebih penting cari kasus sebanyak mungkin itu tugas pemerintah. Testing dan tracing kita sekarang lemah. Sehingga kasus di bawah permukaan nular terus," pungkasnya. (fat/fat)