Vaksin Sinovac buatan China sudah dikirim ke Jatim Senin (4/1). Peneliti di Surabaya mengingatkan agar berhati-hati dalam vaksinasi.
"Cuma, saya ingin mendekatkan bahwa dari aspek virus covid itu harus hati-hati di dalam pelaksanaan vaksinasi. Karena virus ini dikatakan dekat dengan virus SARS dan MERS, tetapi kedua virus itu tidak berhasil dilakukan vaksinasi. Sehingga timbul pertanyaan, terutama scientist atas dasar apa kok dilakukan vaksinasi," kata Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation (PNF), Prof dr Chairul Anwar Nidom saat dihubungi detikcom, Selasa (5/1/2021).
Nidom mengatakan jika ia dan beberapa peneliti dari segi scientist melihat hal-hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut dalam vaksin ini. Agar lebih clear, lebih jujur kepada semuanya, bahwa vaksin yang akan diterapkan adalah vaksin seperti apa.
"Kita tahu platform yang ada di dunia ini kan ada lebih dari 2 atau 3 platform yang berbeda-beda. Nah, kenapa terjadi seperti itu, padahal virusnya sama. Jadi, orang menebaknya lebih ke aspek bisnis, bukan aspek teknis maupun tujuan untuk bisa menyelesaikan virus ini," tambahnya.
"Jadi, kenapa pemerintah sekarang memilih Sinovac. Walaupun saya tahu alasannya, bahwa Sinovac teknologinya konvensional. Kalau teknologi konvensional itu memudahkan ahli teknologi kepada masyarakat, misalnya seperti PT Biofarma. Karena PT Biofarma biasa melakukan. Kalau memang itu disepakati kenapa harus mau mengimport platform yang lain," jelasnya.
Jadi, kata Nidom, platform yang lain teknologinya tidak pernah dilakukan vaksinasi. Namun, baru dan pertama kali ini teknologi tersebut dilakukan vaksinasi dengan melibatkan banyak orang.
"Apa tidak ngeri itu," ucapnya.
Untuk platform Sinovac sendiri pihaknya masih menelusuri. Seperti influenza dan sebagainya yang pernah menggunakan teknologi mirip dengan Sinovac.
Tetapi, virusnya justru menjadi pertanyaan. Pasalnya, jika memang virus ini bisa dilakukan pendekatan dengan intervensi vaksin, kenapa SARS dan MERS tidak bisa. Padahal memiliki kedekatan.
"Ayo kita perjelas virusnya. Kemudian dalam analisis kami di PNF menemukan suatu motif yang ada di dalam virus COVID ini. Terutama kami betul-betul meneliti virus yang ada di Indonesia, yaitu yang disebut motif ADE (Antibody Dependent Enhancement) di mana itu adalah suatu alat yang dimiliki oleh virus yang digunakan untuk berkelip dari antibodi. Sementara tujuan dari vaksinasi ini menghasilkan antibodi," jelasnya.
Nidom menjelaskan ADE merupakan fenomena virus berikatan dengan antibodi untuk menginfeksi sel inang. Potensi terjadinya fenomena ADE terlihat dari pola tertentu melalui susunan DNA/RNA virus. Sebelumnya, virus Corona menginfeksi sel lewat reseptor ACE2 yang ada di paru-paru. Namun, dengan fenomena ADE, maka sel akan masuk ke sel lewat makrofag.
Sehingga virus berkembang di sel mikrofag (sel darah putih) bukan di sel saluran pernafasan lagi. Akibatnya, infeksi virus COVID-19 bisa terjadi tanpa menunjukkan gejala klinis (OTG), infeksi virus Corona jadi berlangsung kronis dan lama serta melemahkan sistem imun.
"Vaksinasi ini bertujuan menghasilkan antibodi. Sementara virus yang ada COVID ini mempunyai strukur yang bisa berkelip dari antibodi. Bahkan kalau dia bisa berkelip, mengikuti pola DBD, maka virus yang berkelip dengan ADE bisa lebih ganas," katanya.
Baca juga: BPOM Ungkap Hasil Uji Vaksin Corona, Aman? |
Pertanyaannya sebagai sebagai peneliti, yaitu bagaimana jika hal tersebut terjadi pada COVID-19. Oleh karena itu harus diperjelas sebelum dilakukan vaksinasi massal kepada masyarakat.
Jika nantinya sampai ADE memang terjadi dan terjadi kefatalan di masyarakat, lalu siapa yang bertanggung jawab.
"Pertanyaan ini pertanyaan-pertanyaan yang kebetulan Saya seorang peneliti dan pengamat dari aspek virologi. Harus diperjelas informasi ini harus jelas harus diberikan betul, jangan hanya sekedar ndak ada," ujar Nidom.
"Terus ada riset, sampai sekarang tidak ada riset Sinovac ini untuk mengatakan bahwa tidak ada aspek ADE tadi. Saya sebagai peneliti hanya mengkhawatirkan kalau ADE ini betul-betul tidak timbul dan terjadi setelah vaksinasi, apa yang terjadi di masyarakat. Saya bukan anti vaksin, virus ini mempunyai sesuatu yang unik. Jadi perlu saya sampaikan," pungkas Nidom.