Sarip sendiri diperkirakan hidup pada abad 19 di era zaman penjajahan kompeni Belanda. Sejak kecil, Sarip diceritakan sebagai anak yatim dan diasuh oleh ibunya dengan penuh kasih sayang.
"Konon, ayah Sarip adalah keturunan dari salah seorang pejuang dalam kancah perang Diponegoro. Ayah Sarip seorang jago silat yang rajin melakukan semedi sehingga memiliki ilmu kanuragan," tutur Henri.
Oleh ayahnya, ilmu kesaktiannya itu kemudian diturunkan ke Sarip. Salah satunya yakni Sarip tidak bisa mati meskipun dibunuh seribu kali dalam sehari selama ibunya masih hidup.
Konon kesaktian Sarip itu diturunkan dari ayahnya ketika masih dalam kandungan ibunya. Saat itu, ayah Sarip memberikan sebongkah lemah abang (tanah merah) hasil dari bertapa dalam goa kepada ibu Sarip yang kemudian dimakan.
Baca juga: Sarip dari Tambak Oso |
Kehidupan yang miskin dan tertindas membuat Sarip tumbuh menjadi pemuda yang keras dan temperamen. Meski begitu, Sarip dikenal suka menolong kepada rakyat miskin di lingkungannya yang tertindas oleh orang-orang belanda dan antek-anteknya.
Melihat banyaknya penindasan itu, Sarip kemudian kerap melampiaskan dengan mencuri dan merampok rumah orang-orang Belanda dan saudagar kaya yang suka memeras rakyat kecil. Meski begitu, hasil dari perampokan dan pencuriannya itu dibagi-bagikan ke orang-orang miskin.
"Karena itu Sarip selalu menjadi target operasi Gubermen Belanda. Karena perbuatannya yang dianggap membuat keonaran dan memprovokasi masyarakat untuk menentang kebijakan Belanda," tandas Henri.
Lihat juga video 'Heroik! Penjaga Bank Gagalkan Pembobolan ATM dengan Tangan Kosong':
(dnu/fat)