Masalah pertama yang menjadi perhatian yakni tak ada pembatasan manfaat penyakit katastropik. Klaim penyakit katastropik mencapai 30 persen dari total klaim atau sekitar Rp 28 triliun.
"Tidak ada pembatasan manfaat penyakit katastropik, yakni penyakit yang timbul dari gaya hidup tak sehat seperti merokok, kurang gerak badan, konsumsi lemak dan manis. Klaimnya total mencapai 30 persen," kata Kunto Ariawan, Kasatgas Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan KPK dalam webinar nasional yang digelar BPJS Kesehatan. Webinar digelar selama dua hari Kamis-Jumat (22-23/10/2020).
Permasalahan berikutnya, lanjut Kunto, tak lengkapnya standar pelayanan. Akibatnya pelayanan berpotensi di bawah standar yang merugikan konsumen dan pemberian layanan berlebihan atau pemborosan. "Dan itu sulit diaudit," imbuhnya.
Kunto menjelaskan permasalahan ketiga overpay rumah sakit yang tak sesuai kelas dan tipenya. Kelas rumah sakit ditetapkan dinas kesehatan.
"Terdapat 898 rumah sakit tak sesuai kelasnya dengan potensi over-payment sekitar Rp 6 triliun setiap tahun secara signifikan karena klaim rumah sakit berdasarkan kelas," terangnya.
Keempat, masalah yang disorot KPK adalah fraud (kecurangan) dan abuse of prosedure. Kunto mengatakan Dirut BPJS Kesehatan menyebut fraud di bawah 1%. Namun, hasil piloting penanganan fraud KPK-Kemenkes-BPJS Kesehatan di 2018, menunjukkan potensi fraud lebih dari itu.
"(Sementara) Perilaku abuse pada operasi katarak, fisioterapi dan tendensi operasi sectio caesura jelas terjadi saat PNPK (pedoman nasional pelayanan kedokteran) tak tersedia, lalu peserta banyak yang menunggak iuran," pungkasnya. (fat/fat)