Masyarakat di pesisir pantai zaman dahulu disebut pandai mengetahui potensi bencana alam. Dulu, mereka kerap mengaitkan tsunami dengan mitos kemarahan penunggu laut yang menyebabkan gempa dengan terjangan ombak besar.
Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Dr Amien Widodo menyebut masyarakat di kawasan pantai telah membentuk kearifan lokal sejak dulu. Bahkan, saat ilmu pengetahuan masih terbatas, secara turun temurun mereka mewariskan ilmu menghadapi tsunami.
"Umumnya masyarakat yang bermukim di kawasan pantai telah mengetahui dan memahami potensi. Bencana di daerahnya, dan mereka pun sudah membentuk kearifan lokal dalam menyiapi semua bencana. Mereka belajar sambil bekerja atau learning by doing," papar Amien kepada detikcom di Surabaya, Senin (28/9/2020).
Amien menambahkan, dulu saat ilmu pengetahuan masih terbatas, masyarakat memang mengaitkan hal ini dengan sejumlah kisah terkait kemarahan makhluk halus. Hal ini juga terjadi di luar negeri yang menghubungkan peristiwa di luar nalar dengan campur tangan makhluk luar angkasa.
"Saat ilmu pengetahuan masih terbatas, bila ada masalah atau peristiwa alam yang luar biasa di luar jangkauan pikiran mereka saat itu, maka selalu dikaitkan dengan makhluk halus yang ada di sekitarnya. Istilahnya yang nunggu atau mbaurekso marah," ungkap Amien.
"Saat terjadi gelombang besar menghancurkan dan membunuh mereka, maka mereka mengatakan penunggu laut selatan sedang marah. Bagaimana orang barat menyikapi peristiwa di luar nalar mereka, misalnya sampai sekarang orang masih belum bisa menerangkan bagaimana membangun piramid. Orang barat menyebut ada campur tangan makhluk luar angkasa atau UFO. Jadi senada, kita menganggap ada mahluk halus, sementara orang barat menyebut UFO," tambahnya.
Dari sini, kemudian muncul kearifan lokal atau tradisi yang dilakukan masyarakat. Salah satunya melarung sesaji di tempat kejadian persis di hari dan tanggal kejadian. Tujuannya, agar penguasa laut tidak lagi marah.
"Apa yang dikembangkan untuk menyikapi kejadian ombak besar atau tsunami tersebut? Kita bisa belajar dari masyarakat sekarang, di mana mereka selalu memberi sesaji di tempat kejadian pada hari kejadian dan lokasi kejadian. Para leluhur melakukan upacara untuk meredam kemarahan penguasa pantai selatan dan untuk mengenang hari ini di lokasi," jelas Amien.
Hal ini, lanjut Amien, kerap disebut dengan upacara labuhan. Tradisi ini juga dilakukan untuk mengingatkan anak cucu jika di daerah tersebut pernah terjadi gelombang besar atau tsunami hingga memakan korban jiwa.
"Labuhan itu merupakan upaya leluhur untuk mengingatkan anak cucu tentang peristiwa tsunami yang terjadi pada hari dan jam saat labuhan tersebut. Sebagai contoh saat upacara Palu Nomoni yang diselenggarakan tanggal 28 hingga 30 September 2018, merupakan salah satu contoh bagaimana rakyat Palu melakukan semacam sedekah laut pada waktu yang sama saat tsunami menerjang," ujar Amien.
Tak hanya itu, dalam tradisi juga diberikan sejumlah pemahaman kepada generasi muda bagaimana kiat menyelamatkan diri saat tsunami datang. Juga, diberikan pengertian sejumlah tanda-tanda datangnya tsunami dari kisah para saksi mata yang selamat.
Menurut Amien, kecerdasan lokal ini sangat dibutuhkan sebagai bekal masyarakat menghadapi ancaman tsunami di kemudian hari.
"Kecerdasan lokal ini bisa dijadikan modal sosial masyarakat pantai selatan dalam menghadapi tsunami di masa depan mereka," pungkasnya.