Universitas Negeri Surabaya (Unesa)mengukuhkan empat Guru Besar Bidang Pendidikan. Termasuk Guru Besar Bidang Pendidikan Inklusi, Prof Dr Budiyanto MPd.
Prof Budiyanto menjadi Guru Besar Bidang Pendidikan Inklusi pertama di Unesa dan yang ketiga se-Indonesia. Sebelumnya ada di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Dalam penelitiannya yang berjudul 'Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Pendidikan Lokal', penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia harus dimulai dan didasari dimensi kekuatan lokal. Yakni nilai budaya pendidikan lokal.
Ada delapan penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia. Pertama peserta didik, di mana natural budaya di masyarakat seperti pesantren menerima semua anak di lingkungan yang tidak didasari perbedaan fisik, sosial, mental maupun intelektual.
"Maka, penerimaan siswa di sekolah inklusif sasarannya anak berkebutuhan khusus. Seperti anak dengan hambatan penglihatan, pendengaran, intelektual, fisik dan motorik, spektrum autis, belajar spesifik, memerlukan program belajar khusus, faktor eksternal (kondisi sosial ekonomi, geografis, red)," kata Budi kepada wartawan di Graha Unesa, Senin (7/9/2020).
Kurikulum, budaya pendidikan lokal menuntun ke arah pola yang sesuai dengan potensi, kompetensi khusus pengelolaan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) secara individual. Strategi adaptasi kurikulum PDBK di sekolah dengan hambatan intelektual perilaku dan komunikasi dan tanpa hambatan intelektual menggunakan kurikulum regular dengan adaptasi.
Ketiga pengelolaan kelas, di mana karakteristik PDBK menjadi indikator utama dalam menentukan penempatan penelitian. Keempat pembelajaran, dalam pelaksanaan pembelajaran senantiasa guru harus menyesuaikan kebutuhan, karakteristik dan gaya belajar peserta didik.
"Target utama pembelajaran pada kelas inklusif adalah menjamin agar potensi semua peserta didik, baik peserta didik regular dan peserta didik berkebutuhan khusus dapat berkembang secara optimal," tambahnya.
Kemudian penilaian, dalam pendidikan inklusif hendaknya berfokus pada proses pemerolehan hasil belajar antara sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan yang responsif, komunikatif dan membimbing. Keenam, konteks ketenagaan dan tugas profesional yang diperlukan dalam pendidikan inklusif. Di antaranya guru kelas dengan tugas utama layanan akademik dan guru pembimbing khusus dengan tugas utama layanan kebutuhan khusus, serta membantu guru kelas dalam layanan akademik.
"Dimensi kemudahan penyelenggaraan pendidikan meliputi aspek kemudahan bagi siswa, guru dalam menjalankan aktivitas kependidikannya. Terdapat tiga jenis sarana prasarana dalam pendidikan. Yaitu aspek lingkungan sekolah, bangunan sekolah dan media atau alat bantu pembelajaran," jelasnya.
Terakhir, sistem dukungan dalam bentuk bantuan tenaga maupun pendanaan. Di antaranya dukungan dari organisasi profesi, dalam konteks peningkatan mutu layanan, unit layanan disabilitas, maupun lembaga sosial masyarakat dalam skala nasional, regional maupun internasional.
"Oleh karena itu saya berharap, kajian yang telah saya lakukan dapat menjadi pemantik bagi pelaku pendidikan, pengamat pendidikan ataupun masyarakat umum untuk terus mengeksplorasi, berkolaborasi dan saling megevaluasi untuk memastikan penyelenggaraan pendidikan inklusif dalam berbagai aspeknya. Baik kurikulum, pengelolaan kelas, pembelajaran, penilaian, ketenagaan, saranan prasarana dan sistem dukungan dapat berjalan sesuai dengan marwahnya, yang pada akhirnya akan mendukung tercapainya pembangun nasional yang berkelanjutan," pungkasnya.