Hal itu dikatakan anak pertama Gus Im, Abdul Azis Wahid. Menurut dia, almarhum ayahnya itu mempunyai karakter independen, mandiri, zuhud dan teguh dalam berprinsip.
"Di lain pihak, beliau orang yang humoris, romantis dan berwawasan sangat luas. Masalah keagamaan, budaya, ekonomi, geopolitik. Banyak sekali senior-senior kita yang belajar dari beliau. Saya pun banyak didawuhi. Kalau ketemu sering diskusi dengan beliau," kata Azis kepada wartawan usai pemakaman Gus Im di Ponpes Mamba'ul Ma'arif Denanyar, Kecamatan Jombang, Sabtu (1/8/2020).
Ia menuturkan, Gus Im merupakan ulama yang tidak suka tampil di hadapan publik. Dia menilai, almarhum ayahnya bekerja tanpa pamrih.
"Beliau orang yang tidak ingin dikenang sebagai figur yang manggung. Beliau bekerja tanpa perlu diketahui, tanpa pamrih. Insyaallah seperti itu. Mohon doanya mudah-mudahan beliau khusnul khatimah, amalnya diterima, digandakan pahalanya, dimaafkan segala kesalahannya," terangnya.
Gus Im wafat saat dirawat di RS Mayapada, Jakarta pada Sabtu (1/8) pukul 04.18 WIB. Almarhum meninggalkan seorang istri dan dua anak. Jenazahnya dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Ponpes Denanyar Mamba'ul Ma'arif. Proses pemakaman berlangsung sejak pukul 20.00 WIB.
Jenazah Gus Im dimakamkan tepat di sebelah makam sepupunya, KH Abdul Wahid Aziz Bisri. Karena semasa hidupnya, Gus Im mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan Kiai Wahid Azis. Mereka sama-sama tinggal di Jakarta.
Tempat peristirahatan terakhir Gus Im sekitar 2 meter di sebelah utara makam KH Bisri Syansuri. Tokoh pendiri NU itu merupakan kakek Gus Im dari garis keturunan ibunya, Nyai Solichah Wahid. Almarhum juga cucu KH Hasyim Asy'ari dari garis ayahnya, KH Wahid Hasyim. (fat/fat)