Beredar kabar bahwa pasien yang masuk ke RSU dr Soetomo selalu 'di-COVID-19kan' atau diberi status pasien Corona. Direktur Utama RSU dr Soetomo, dr Joni Wahyuhadi membantah kabar tersebut.
Namun ia membenarkan adanya sistem skoring yang dilakukan oleh tim kedokteran Soetomo kepada pasien yang akan dirawat. "Jadi ada skoring di kita (Soetomo). Tidak asal pasien datang lalu diberi status itu pasien Corona. Itu gak benar," kata Joni di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin (29/6/2020).
Joni menjelaskan, sistem skoring tersebut terbagi dalam 3 kategori. Yakni skor rendah, sedang dan tinggi. Untuk skor rendah (0-4), pasien akan langsung mendapat tindakan/operasi/dirawat sesuai kasus penyakitnya.
Kemudian untuk pasien yang datang dalam kategori sedang (skor 5-19) akan di-rapid test. Jika rapid positif, maka akan dilanjutkan ke tes PCR Swab. Lalu bila swab positif, akan dirawat sesuai prosedur COVID-19.
"Kemudian untuk pasien kategori tinggi (skor 20 ke atas) maka akan langsung di-swab. Jika negatif akan dicek gejala saluran napas. Dan jika tetap tidak ada maka langsung dirawat sesuai kasus penyakitnya," jelas Joni.
Lalu bagaimana skor tersebut muncul? Joni menjelaskan, pasien yang masuk akan dilihat bagaimana gejalanya. Seperti demam, foto toraks perselubungan bilateral basa, CT Scan GGO Bilateral hingga kontak riwayat dengan pasien terkonfirmasi COVID-19.
"Ada 19 kriteria skoring tersebut. Tapi yang urgensi adalah kontak riwayat, CT Scna, foto toraks dan gejala-gejala yang dimiliki pasien. Bisa juga trombosit menurun, komorbid pasien hingga tempat tinggal dari pasien tersebut," terangnya.
Untuk pasien yang masuk, Joni tidak pernah membedakan pasien tersebut dari suku, agama, ras, domisili. Asal ada indikasi medis dan tempat yang tersedia, pasien akan dirawat.
"Jadi Soetomo RS pendidikan. Asalkan ada indikasi medis dan kita punya tempat, itu pasti masuk. Wong gak ada tempat aja dicarikan tempat. Ini tadi kawan dari Madura tidak bisa masuk, karena masih dicarikan tempat. Jadi selama ada indikasi pasti masuk. Karena kita RS pendidikan yang menjunjung tinggi nilai ilmiah," ujarnya.
"Di dalam praktik undang-undang RS, dilarang membedakan pasien. Dari agama, ras, suku, agama. Ada pasien dari Rusia jatuh di Bromo, itu orang asing lalu kita kelola dengan baik. Sampai membuat testimoni. Itu orang asing, apalagi orang Surabaya," pungkasnya.