Dewan Masjid Indonesia (DMI) menganjurkan para takmir masjid menggelar salat Jumat dua gelombang jika jemaah mereka meluber ke jalan. Namun, alasan yang digunakan DMI dalam anjuran tersebut dinilai tidak memadai.
Ketua Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Mojokerto Ahmad Saifudin Zuhri mengatakan, salat Jumat pertama kali ditunaikan Nabi Muhammad bersama para pengikutnya di Madinah. Salat Jumat menggantikan kewajiban salat Zuhur 4 rakaat. Di dalamnya terdapat khotbah yang menggantikan dua rakaat salat Zuhur. Sehingga salat Jumat hanya dua rakaat.
"Dalam mazhab Syafi'i yang dianut mayoritas umat muslim di Indonesia, idealnya salat Jumat di sebuah desa dilaksanakan di satu masjid pada waktu bersamaan. Tidak boleh salat Jumat dilaksanakan di lebih dari satu tempat. Kalau salat Jumat dilaksanakan di dua tempat tanpa alasan yang memadai, maka salat Jumat yang sah yang duluan takbiratulihram (takbir yang diucapkan pada awal salat)," kata Kiai Zuhri saat dikonfirmasi detikcom, Jumat (19/6/2020).
Pengasuh Ponpes Al Maaba di Kabupaten Mojokerto ini menjelaskan, salat Jumat di sebuah desa baru boleh digelar di dua tempat berbeda pada waktu bersamaan jika jemaahnya sulit untuk dikumpulkan menjadi satu di sebuah masjid. Salah satunya karena terdapat perbedaan aliran, seperti jemaah NU dan Muhammadiyah yang tidak memungkinkan salat Jumat di satu masjid meski mereka tinggal di desa yang sama.
"Yang kedua, jemaah kesulitan berkumpul karena faktor geografis atau ada penghalang karena perseteruan masyarakat. Maka boleh salat Jumat di dua tempat berbeda pada waktu bersamaan," terang Kiai Zuhri.
Melalui surat edaran (SE) No 105-Khusus/PP-DMI/A/VI/2020 tertanggal 16 Juni 2020, DMI menganjurkan para takmir masjid menggelar salat Jumat dalam dua gelombang. Gelombang pertama pukul 12.00 WIB dan gelombang kedua pada pukul 13.00 WIB. Anjuran tersebut khusus bagi masjid-masjid yang jemaahnya meluber ke jalan saat salat Jumat.
Karena selain barisan salat menjadi tidak teratur, jalan raya dinilai tidak bersih. Virus Corona bisa terbawa ke rumah melalui sajadah yang digunakan jemaah. Pembagian jemaah salat Jumat dengan metode ganjil genap berdasarkan nomor ponsel para jemaah.
Kiai Zuhri menilai, alasan yang digunakan DMI dalam memberikan anjuran kepada para takmir masjid agar menggelar salat Jumat dua gelombang, tidak memadai. Namun, pihaknya menghormati pendapat dari DMI tersebut.
"Menurut saya alasan tersebut tidak memadai. Melaksanakan salat Jumat di dua tempat berbeda saja sudah menjadi problem, apalagi di masjid yang sama dalam dua gelombang. Saya tidak mengatakan salat Jumat gelombang kedua tidak sah. Kalau alasan kapasitas masjid tidak bisa menampung karena harus jaga jarak, jemaah kan bisa meluber ke halaman dan jalan. Bahkan, bisa meluber ke rumah-rumah penduduk di dekat masjid. Yang penting jarak barisan paling belakang dengan barisan di jalan dan rumah penduduk tidak lebih dari 40 meter," jelasnya.
Kiai Zuhri menegaskan, masalah kebersihan jalan dan potensi penyebaran virus Corona melalui sajadah juga bisa disiati tanpa harus menggelar salat Jumat dua gelombang.
"Alasan kebersihan juga tidak memadai. Alasan itu masih bersifat dugaan. Kan bisa menyerukan ke jemaah supaya membawa sajadah sendiri dengan tetap menjaga jarak. Saya yakin edaran itu tidak akan digubris orang. Karena edaran itu tidak masuk logika ahli fiqih," tegasnya.
Ia menambahkan, masjid di pesantrennya sampai saat ini tetap menunaikan salat Jumat seperti biasa. Yaitu salat Jumat digelar di masjid yang sama pada waktu bersamaan.
"Jemaah salat Jumat kami ribuan. Dari pondok saja ada sekitar seribu santri putra, belum masyarakat sekitar. Kami tetap salat Jumat satu gelombang dengan menjaga jarak. Tidak masalah jemaah meluber ke halaman maupun ke jalan," tandasnya.