Jumlah kasus pasien COVID-19 di Jawa Timur terus meningkat. Hingga kini, tercatat ada 8.529 orang terinfeksi virus Corona. Sehari, penambahan kasus Corona di Jatim rata-rata di atas 100 hingga 200 orang.
Pakar Epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr dr Windhu Purnomo menilai memang wilayah Jatim, terlebih Surabaya belum saatnya menerapkan era transisi new normal.
"Prinsipnya Jatim dan Surabaya itu harusnya memang belum masa transisi (New Normal)," kata Windhu kepada detikcom di Surabaya, Kamis (18/6/2020).
Windhu mengatakan ada salah satu syarat penting dari penerapan transisi new normal. Yakni tingkat penularan atau bilangan reproduksi efektif (Rt) harus di bawah angka 1 selama 14 hari berturut-turut. Sedangkan di Jatim, angkanya masih naik turun.
"Karena salah satu syarat penting masa transisi adalah tingkat penularan atau RT sudah di bawah 1 berturut-turut konsisten selama 14 hari. Itu yang pertama, belum yang lain-lainnya. Tapi ini saja belum terpenuhi Surabaya belum, Jawa Timur belum," imbuhnya.
Sementara Wmioindhu menyebut Surabaya menjadi sentral atau daerah dengan penularan dan kasus yang cukup tinggi. Kendati Rt di Surabaya pernah di bawah 1, namun hal ini hanya berlangsung beberapa hari saja.
Simak video 'WHO: Masih Ada Harapan di Tengah Peningkatan Covid-19':
"Tanggal on set terakhir tanggal 11 Juni, jadi 3 hari tanggal 9, 10, 11 Juni itu Surabaya sebetulnya sudah bagus Rt-nya tingkat penularannya sudah kurang dari 1. Tapi itu 3 hari," ungkap Windhu.
Namun, Windhu juga menanyakan data ini. Karena seharusnya jika Rt sudah bagus, tak diikuti dengan tingkat kematian yang tinggi.
"Saya sebagai seseorang yang melakukan analisis data yang pertama kali saya pertanyakan, kalau melihat Surabaya masih seperti itu artinya attack ratenya tinggi kemudian angka kematiannya juga tinggi 8% lebih. Itu kan lebih tinggi dari angka nasional yang sudah 5 persen sekian, jadi saya juga agak curiga apa betul data yang disampaikan ke gugus tugas itu yang dilaporkan," paparnya.
"Data yang dilaporkan, Surabaya membaik Rt-nya, tapi kematian masih jelek. Nah kalau masih jelek, penularan masih terus terjadi, dan orang yang seharusnya dirawat tidak tertampung di RS sehingga risiko untuk mati tinggi. Karena dia seharusnya dirawat tapi tidak bisa masuk karena bed-nya penuh. Karena datang pasien yang dari lapangan lebih banyak dari pada yang masuk ke RS," tambah Windhu.
Pertanyaan ini muncul karena ada ketidaksinkronan dua data tersebut. Namun, Windhu akan menunggu data hingga beberapa hari ke depan untuk menganalisis lebih lanjut.
"Karena daerah itu kan bisa saja mengirim laporan tidak selalu semua yang sudah masuk dilaporkan semua. Kadang dicicil. Saya pertanyakan angka kematiannya tinggi, kok tingkat penularan sudah bagus, sudah kurang dari 1. Jadi saya masih menunggu, kan ketahuan saya kira seminggu sampai 10 hari bahwa data yang dilaporkan hari ini benar atau enggak itu akan ketahuan minggu depan," pungkasnya.