Jumlah perokok anak di Indonesia meningkat. Mereka mengakses rokok secara bebas dan terbuka. Seharusnya rokok dapat dikendalikan agar tidak menyasar anak-anak.
Direktur Eksekutif Arek Lintang (Alit) di Surabaya, Yuliati Umrah mengatakan, salah satu faktor pendorong anak dan remaja ialah rokok murah yang dijual dengan harga di bawah banderol di pasaran. Sehingga mempermudah anak untuk menjangkaunya.
Sebagai lembaga yang fokus terhadap perlindungan anak, Alit menilai terdapat tiga hal yang membuat anak-anak terpapar rokok. Yaitu harga yang murah, ketersediaan produk, serta tingkat edukasi yang rendah.
Berdasarkan data nasional, jumlah perokok usia muda (10-18 tahun) di Indonesia mencapai 7,8 juta anak, atau 9,1 persen. Jumlah itu diprediksi terus bertambah menjadi 15,8 juta anak atau 15,91 persen pada 2030.
"Alasan anak dan remaja memulai merokok, di antaranya sekedar coba-coba lalu ketagihan, terbiasa melihat anggota keluarga merokok, diajak teman, ingin dianggap seperti orang dewasa, menganggap merokok adalah kegiatan yang keren, tidak ada yang menegur, kurangnya edukasi terhadap bahaya rokok, dan masih terjangkaunya harga rokok leh anak-anak," kata Yuliati, Selasa (2/6/2020).
Yuliati menjelaskan, harga rokok yang murah dan ketersediaan produk. Misalnya, menimbulkan akibat pelanggaran terhadap berbagai aturan dan kaidah distribusi, konsumsi, dan pengaturan harga pasar.
"Proses tersebut semakin diperparah dengan tingkat edukasi terhadap masyarakat yang belum konsisten," ujarnya.
Selama ini, Yuliati menyoroti pemerintah yang menaikkan cukai untuk mengendalikan konsumsi rokok. Keberadaan cukai akan tertuju pada harga minimum di kemasan rokok.
Tapi faktanya, di pasaran masih banyak rokok yang yang dijual jauh di bawah harga pita cukai. Yuliati pun berharap, pemerintah dapat lebih tegas menjalankan berbagai aturan yang telah dibuat terkait dengan zona penjualan dan distribusi produk.
"Semoga pemerintah serius dalam mengawasi penjualan rokok murah demi menutup akses rokok dari anak-anak," harapnya.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyampaikan, pemerintah seharusnya serius memperhatikan konsumen, khususnya pada anak. Dia berharap pemerintah secara tegas mengawasi perlindungan anak dari bahaya rokok.
"Jangan mimpi Indonesia bakal punya masa depan emas kalau anak-anaknya tidak dilindungi sehingga jadi pecandu rokok dan penderita penyakit degeneratif lainnya," tegas dia.
Menurutnya, selama ini pemerintah telah menetapkan aturan untuk mengendalikan konsumsi tembakau di Indonesia, salah satunya adalah dengan penetapan tarif cukai yang tinggi. Namun, beberapa bulan lalu terdapat potongan harga pada rokok.
"Ini tidak logis jika kita punya tujuan pengendalian tembakau dan menekan prevalensi perokok di Indonesia," jelasnya.
Artinya, lanjut Tulu, kebijakan tarif cukai tidak menghambat rokok murah di pasaran. Pemerintah juga dinilai belum menjadikan cukai sebagai instrumen yang efektif untuk pengendalian konsumsi rokok.
Sebab, faktanya pemerintah hanya menjadikannya sebagai instrumen penerimaan negara. "Masih banyak inkonsistensi dalam upaya melindungi anak dari rokok, contohnya hanya di Indonesia rokok dijual ketengan seperti permen," pungkasnya.