Warga Jalan Diponegoro Desa Beru Kecamatan Wlingi ini, menjadi penyedia peti mati bagi RSUD Ngudi Waluyo Wlingi. Jika pada saat kondisi normal, Anjar panggilan akrabnya, jarang menyediakan stok kecuali jika ada pesanan. Namun saat Corona mewabah, dia wajib menyediakan stok peti mati lebih dari dua buah.
"Kalau penanganan jenazah Corona itu kan serba cepat. Sementara bikin petinya makan waktu lama. Jadi saya harus selalu nyetok sejak ada COVID-19 ini," ujar pria berusia 41 ini kepada detikcom, Rabu (13/5/2020).
Tak hanya selalu sedia stok, Anjar juga harus siap setiap saat untuk mengantar peti mati ke rumah sakit, jika ada kematian baru pasien Corona. Jarak rumahnya dengan rumah sakit sekitar 3 KM, memudahkan proses pengantaran lebih cepat.
Anjar mengaku, dalam sebulan terakhir sudah mengirim enam peti mati bagi korban Corona. Dia tidak tahu apakah ini yang disebut hikmah di balik bencana.
"Ya mungkin seperti itu kali ya. Karena memang ada kenaikan. Penjualan sejak sebulan terakhir sudah enam. Kalau kondisi normal, sebulan itu hanya 3 sampai 4. Bahkan pernah sebulan tidak laku," ungkapnya.
Usaha pembuatan peti mati sudah dirintis ayahnya sekitar 30 tahun yang lalu. Awalnya, sang ayah hanya menerima pesanan peti mati untuk jemaat gereja. Namun karena sekarang ayahnya tidak menjadi ketua wilayah, maka penjualan peti mati dibuka untuk masyarakat umum yang membutuhkan.
Termasuk untuk RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, yang saat ini menjadi rumah sakit rujukan penanganan COVID-19. Tak hanya untuk korban Corona peti mati disediakan. Namun juga untuk korban tewas akibat kecelakaan yang sering dipesan rumah sakit kepadanya.
Apakah ada spesifikasi khusus peti mati untuk korban Corona? Anjar menjawab tidak. Semua peti mati bikinnya berbahan triplek dengan ketebalan antara 15 sampai 17 mili.
"Kalau dulu masih kayu. Biasanya kayu sengon atau mranti. Tapi harga kayu sekarang mahal dan susah didapat. Jadi kami ganti triplek yang bagus dengan ketebalan 15 dan 17 mili," kata Anjar.
Untuk peti mati berbahan triplek setebal 15 mili dijual seharga Rp 175 ribu. Sedangkan untuk tebal 17 mili dijual seharga Rp 200 ribu. Anjar mengaku, saat ini stoknya masih tersisa lima peti. Jika berkurang dua, dia akan memanggil tukang dan bisa memproduksi peti mati sebanyak 3 buah/hari. (fat/fat)