Lokasi jasad ditemukannya Joko Pangon kini berubah menjadi situs. Sebuah yoni berdiri tegak di sisi selatan pohon beringin yang menjulang tinggi. Menurut Karyati, yoni itulah sebenarnya nisan makam Joko Pangon Candi Gedog.
"Mbah Joko Pangon itu leluhur, makamnya jadi pepunden warga sini. Banyak yang datang nyadran dengan segala hajatnya. Mbah juga kami yakini mengayomi warga. Makanya daerah sini bebas dari lahar Gunung Kelud," kata Karyati (90) kepada detikcom saat ditemui di rumahnya, Rabu (26/2/2020).
Selain mengayomi, Sukirman melalui wisik menyampaikan kepada Karyati dan warga Gedog berbagai larangan agar warga tetap aman dan damai. Di antara larangan itu, semua wanita tidak boleh mengurai rambutnya jika habis keramas. Selain itu, warga Gedog juga dilarang memakai sarung bermotif kotak-kotak hitam putih seperti yang umum dipakai orang Bali.
"Ada yang tidak percaya tetap dipakai. Katanya oleh-oleh dari saudaranya. Pak RT sebelah itu dulu. Melanggar larangan Mbah Pangon ya jadi hilang sak wong-wonge (Sarung sama orangnya hilang)," tutur Karyati sambil tertawa.
Karyati juga bilang, Mbah Joko Pangon senang segala sesuatu itu bersih dan berhati-hati menjaga makamnya. Pernah suatu ketika, Sukiman mengajak tetangganya membersihkan rumput sekitar yoni. Tanpa sengaja, dia memukulkan ujung sabit agar bisa lebih kuat menancap sampai berbunyi dor. Pukulan ini menyebabkan, ujung yoni cuwil.
"Malamnya kakung dibilangi, wong kui suk matine yo muni dor (Orang itu besok matinya juga berbunyi dor). Dan benar saja, hanya tiga hari setelah kejadian, orang itu meninggal di tengah jalan tertembak pasukan Jepang," tuturnya.