Berawal dari mencoba dan melihat peternak di daerah lain, warga Lamongan ini mencoba merealisasikan logika itu. Warga Lamongan ini pun akhirnya sukses beternak ulat sutra.
Dia adalah Heri Purnomo (50), warga Desa Sumengko, Kecamatan Kedungpring. Heri mengaku ia tertarik mengembangkan ternak ulat sutra setelah melihat para peternak ulat sutra di Pasuruan.
"Kalau di Pasuruan sana sudah banyak masyarakat yang membudidayakan ulat sutra," ujar Heri Purnomo mengawali perbincangannya dengan wartawan, Jumat (31/1/2020).
Ketertarikan di Pasuruan itu, lanjut Heri, kemudian dicoba dibawa ke Lamongan. Selain makannya yang mudah didapat, kata Heri, perawatan ulat sutra juga terbilang mudah dan bisa sambil bekerja di bidang lainnya.
"Ketika itu saya hanya membawa 100 ekor ulat sutra untuk diujicobakan di rumah," kenang Heri.
Di rumah, Heri membudidayakan ulat sutra dalam satu kerangka kayu berukuran 1x4 meter yang dipisahkan menjadi 3 tingkat dan di masing-masing tingkatan Heri memasang jaring. Di masing-masing tingkatan itulah ulat sutra hidup di balik daun-daun murbei dan daun-daun lain yang menjadi makanan ulat. Heri menyebut kendala untuk budi daya ulat sutra hanya semut dan ayam karena dua hewan ini akan bisa menghabiskan semua ulat tersebut.
"Budidaya ulat sangat mudah dan tak mengeluarkan banyak uang," terangnya.
Sukses membawa 100 ulat sutra dari Pasuruan ternyata membuat Heri tertarik untuk mengembangkan budidaya ini di Lamongan. Setelah 6 bulan berjalan, Heri berhasil mengembangkan ulat sutra tersebut setidaknya di 4 kecamatan di Lamongan seperti di Kecamatan Sugio, Kedungpring, Babat dan Pucuk.
![]() |
"Budidaya di Kecamatan lain ini untuk melihat apakah cuaca di daerah tersebut ada kendala atau tidak. Selama berlangsung di Kecamatan lain itu ternyata sama saja dengan yang ada di rumah saya," imbuhnya
Dari bentuk ulat menjadi kepompong, Heri mengaku menunggu selama kurang lebih 22 hari untuk menjadikan kepompong siap jual. Penjualan kepompong ulat sutra inipun, jelas Heri, mengikuti harga dollar sehingga penjual tak bisa tertipu. Untuk 200 ulat sutera bisa mendapatkan 1 kilo bahan kepompong sutra.
"Seperti saat ini, 1 kilo harga kepompong bisa mencapai Rp 20 ribu dan tentunya harga ini sama semua dengan yang lainnya, tak ada perbedaan sama sekali," ujar Heri yang tengah bereksperimen untuk melakukan kawin silang antara Ulat Sutera Eri dan Ulat Sutera Murbei agar ulat hasil silangan ini bisa makan daun singkong tahunan dan daun jarak kepyar yang banyak tersedia di desanya.
Tak hanya itu saja, Heri mengungkapkan, kotoran ulat sutra dari hasil budidayanya tidak terbuang percuma. Heri memanfaatkannya sebagai pupuk organik untuk semua tanaman. "Sebagian peternak sudah membuktikan kalau kotoran tersebut sangat baik sekali untuk semua jenis tanaman," pungkasnya. (iwd/iwd)