Jember -
Sebuah kelenteng di Desa Glagahwero, Kecamatan Panti hanya berjarak sekitar 5 meter dengan masjid. Meski demikian, jemaah masing-masing pemeluk agama bisa berdampingan dan saling menghormati.
Seperti yang terjadi dalam perayaan Imlek 2020. Di Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Pay Lien San itu, warga Tionghoa berbagi kebahagiaan dengan warga sekitar masjid. Mereka bersilaturahmi dan membagikan sembako dengan warga Muslim sekitar Masjid Al-Barokah.
"Menyambut Tahun Baru Imlek 2571 ini, sebagai bentuk silaturahmi antarumat beragama, kami berbagi sembako dengan warga sekitar," kata Wakil Ketua TTID Pay Lien San, Hery Novem Stadiono, Sabtu (25/1/2020).
Menurut Hery, acara semacam itu bukan hanya ketika Imlek saja. Namun saat umat Muslim merayakan Idul Fitri, silaturahmi dan saling berbagi juga dilakukan.
"Ini tidak berlaku saat Imlek saja, saat Idul Fitri juga sama. Saling toleransi lah," ujar Hery.
Dia lalu menceritakan sejarah berdirinya TITD tersebut. Menurut pria dengan nama Tionghoa Jap Swie Liong ini, kelenteng itu dulunya hanya sebuah rumah ibadah yang kecil.
"Dulu rumah ibadah ini rumah kecil, banyak orang datang dan sendirian yang ngurus. Akhirnya dibangun wihara ini, dan umat juga semakin banyak," imbuhnya.
"Kemudian direnovasi lagi tahun 2001 untuk jadi tempat ibadah, dengan bersebelahan dengan masjid ini," sambungnya.
Ia tidak mempersoalkan tempat ibadah mana yang dibangun lebih dulu. Apakah kelenteng itu atau masjid yang ada di sampingnya.
"Tidak jadi persoalan, masjid dulu atau wihara ini. Tapi semisal berkumandang azan, kita berdoanya pelan-pelan. Intinya antarumat beragama juga saling menghargai. Apalagi jaraknya (tempat ibadah) 5 meter dengan masjid terdekat," lanjutnya.
Senada dengan yang disampaikan Hery, Takmir Masjid Al Barokah, Hasan juga membenarkan bentuk toleransi antarumat beragama itu. Bukan hanya di momen keagamaan bagi jemaah wihara, saat ada momen untuk jemaah Muslim, toleransi juga terlihat.
"Selain seperti sekarang membagikan sembako, bentuk toleransi kami juga tampak saat tahlilan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dulu," kenang Hasan saat dikonfirmasi terpisah.
Dia mengungkapkan, saat meninggalnya KH Abdurrahman Wahid, yang dianggap sebagai tokoh yang sangat menghargai toleransi antarumat beragama, kala itu selama 40 hari penuh diadakan tahlilan. Lokasinya persis di belakang wihara.
"Karena kan Gus Dur agama Islam, jadi di belakang klenteng itu digelar tahlilan selama 40 hari penuh, juga mengundang para kiai dan ulama. Intinya saling menghargai dan toleransi," imbuhnya.
"Saat azan menghargai, saat yang kelenteng ada kegiatan ya kita tidak mengganggu," pungkasnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini