Ketua Fraksi FPDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan program-program di Jakarta tidak berkonsep. Ia mencontohkan program naturalisasi sungai yang digagas Gubernur Anies Baswedan. Tak heran jika sampai saat ini program tersebut tidak berjalan maksimal.
"Banyak yang tidak paham konsep naturalisasi sungai itu. Bahkan OPD-nya saja tidak paham. Kami juga tidak paham. Makanya program ini tidak bisa berjalan baik di lapangan," ujar Gembong kepada wartawan di Balai Kota Surabaya, Jumat (20/12/2019).
Di Jakarta, kata Gembong, tidak ada sungai yang lebar. Semua sungainya sempit. "Kami ingin belajar dari Bu Risma. Beberapa waktu lalu Jakarta hujan 2 jam. Tapi sudah ada genangan cukup tinggi. Masalah-masalah seperti ini harus diselesaikan. Gubernur bisa meniru seperti di Surabaya untuk menyelesaikan masalah ini," kata Gembong.
Karena diminta untuk presentasi, Risma pun membeberkan sejumlah strategi manajemen banjir di Kota Pahlawan.
"Yang terpenting adalah kerja keras, dan itu harus didasari niat, jangan mencari-cari alasan," papar salah satu wali kota terbaik dunia itu.
Risma mengisahkan saat awal menjabat, para stafnya menjelaskan bahwa banjir di Surabaya adalah banjir kiriman.
"Aku bilang, enggak boleh lagi sebut banjir kiriman. Sudah given kalau Surabaya itu geografisnya begini. Jadi nggak boleh sebut banjir kiriman dari Gresik, Mojokerto, enggak boleh. Harus cari solusi, jangan cari alasan," kata Risma.
Tonton juga Aksi Petugas PPSU Bersihkan Got saat Jakarta Banjir :
Wali kota perempuan pertama di Surabaya itu pun memutar otak. Hasilnya, sekarang wilayah Surabaya yang masih tergenang air hanya 697 hektare atau 2,08 persen dari luas wilayah. Untuk wilayah tengah kota sudah aman dari genangan air saat terjadi hujan.
Risma menjelaskan, 80 persen sungai di Surabaya adalah tipe sungai pengairan. Jalur sungainya berada di atas, sedangkan perumahan ada di bawahnya karena dulu merupakan sawah. Langkah pertama yang dilakukan Risma adalah mengubah model sungai pengairan menjadi sungai untuk drainase.
"Fungsinya kami ubah jadi drainase. Kami bangun 293,87 km saluran. Air yang dulu masuk ke sawah yang sekarang berupa rumah-rumah dan kampung-kampung, maka sekarang harus masuk saluran," jelas alumnus ITS Surabaya itu.
Risma memulai pembangunan drainase besar-besaran dengan box culvert.
"Kami membuat saluran baru enggak mungkin. Tapi di bawah pedestrian kita bikin saluran-saluran. Pembangunan pedestrian harus terintegrasi dengan pembangunan drainase," ujarnya.
Saluran drainase itu dibangun dengan box culvert yang bahannya kuat hingga 100 tahun. "Sudah dites ilmiah, sangat kuat. Jadi sekaligus kami bisa efisiensi karena tidak perlu lagi ganti dan bongkar lagi dalam waktu lama," ujarnya.
Selain menjalankan program konkret mengatasi banjir, Risma juga menekankan pentingnya transparansi dan efisiensi anggaran. Risma mencontohkan pembangunan rumah pompa di Surabaya yang hemat miliaran rupiah.
Detail Engineering Design (DED) rumah pompa secara umum akan memakan biaya Rp 200 miliar, tapi di Surabaya bisa ditekan hingga Rp 40 miliar.
Halaman 2 dari 2