Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim Wicaksono Dwi Nugroho mengatakan, situs petirtaan Sumberbeji diperkirakan berdiri di area seluas 500 meter persegi. Dua tahap ekskavasi sebelumnya berhasil mengungkap bangunan kolam seluas 20 x 17 meter persegi. Rata-rata ketebalan dinding kolam purba ini mencapai 80 cm. Kedalaman kolam mencapai 2 meter dengan lantai berupa tatanan bata merah kuno.
Petirtaan ini dibangun dan digunakan keluarga raja untuk menyucikan diri. Hanya saja tahun pembangunannya hingga ini belum bisa dipastikan. Para arkeolog baru mendapat petunjuk berupa temuan pecahan keramik dari Dinasti Yuan dan Song di Tiongkok sekitar abad 10-12 masehi. Kolam kuno ini diprediksi dibangun sejak Kerajaan Kediri dan digunakan sampai masa Majapahit.
"Komponen petirtaan tentunya tidak berdiri sendiri. Tentu ada masyarakat pendukungnya. Karena petirtaan ini tingkatannya kerajaan, tentunya menjadi satu kompleks dengan kota raja," kata Wicaksono kepada wartawan saat melakukan pemetaan bawah tanah bersama sejumlah ahli geofisika di Situs Sugihwaras dan Bulurejo, Jombang, Rabu (11/12/2019).
Hipotesa petirtaan Sumberbeji menjadi bagian dari kota raja, lanjut Wicaksono, timbul karena adanya temuan struktur purbakala di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngoro dan di Dusun Kedaton, Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek. Situs Sugihwaras berupa struktur dari bata merah yang memanjang.
Situs di Dusun Kedaton juga berupa struktur dari susunan bata merah. Bagian yang sudah nampak sepanjang 11 meter. Bangunan ini membentang dari selatan ke utara. Tingginya 1,3 meter atau terdiri dari 25 lapis bata merah. Setiap bata penyusunnya mempunyai dimensi 32 x 18 x 5 cm.
Situs ini berjarak sekitar 100 meter dari situs Sugihwaras. Baik situs Kedaton maupun Sugihwaras diduga sisa-sisa keraton Majapahit dari abad 14 masehi. Kedua bangunan kuno ini berada sekitar 3,8 Km di sebelah utara petirtaan suci Majapahit di Sumberbeji.
"Hipotesa ini kami analogikan dengan sebaran situs di Trowulan (Kabupaten Mojokerto). Petirtaan Sumberbeji kami samakan dengan Candi atau Petirtaan Tikus. Kalau kami tarik jaraknya Candi Tikus ke permukiman di Segaran 3,6 Km. Sumberbeji ke utara ke arah Sugihwaras dan Bulurejo berjarak 3,8 Km. Tentunya hipotesa ini butuh kajian lebih lanjut untuk mencari benang merahnya," terang Wicaksono.
Untuk memastikan hubungan ketiga situs tersebut, BPCB Jatim bekerjasama dengan ahli geofisika dari ITS Surabaya dan Universitas Pertamina Jakarta. Tim ahli melakukan pemetaan bawah tanah. Salah satunya menggunakan alat georadar.
Pemetaan ini untuk menentukan titik-titik sebaran struktur purbakala yang masih terpendam di dalam tanah. Mulai dari petirtaan Sumberbeji, situs Sugihwaras hingga situs Kedaton di Desa Bulurejo. Sehingga proses ekskavasi selanjutnya lebih efektif karena tidak perlu mengupas seluruh lahan di sekitar situs.
"Hasil pemetaan bawah tanah nantinya menjadi masukan bagi kami untuk menentukan strategi kajian ekskavasi tahun depan. Jadi, tidak mengupas semua. Kami bisa memilih tempat-tempat berdasarkan rekomendasi dari teman-teman geofisika ITS dan Universitas Pertamina," tegasnya.
Ekskavasi tahun 2020 nanti, tambah Wicaksono, akan lebih dulu difokuskan di petirtaan Sumberbeji. Selanjutnya, BPCB Jatim akan melakukan studi pemugaran yang salah satunya untuk menghitung biaya pemugaran. Pemugaran petirtaan suci Majapahit ini ditargetkan berjalan pada 2021.
"Tahun depan kami selesaikan kajian di Sumberbeji. Setelah itu, kami cari sebaran tinggalan purbakala di sekitar Sumberbeji. Termasuk hubungannya dengan situs Sugihwaras dan Bulurejo," tandasnya. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini