Siswanto, salah satu warga mengaku harus rela antre ke sumur tetangga untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan mencuci.
"Saya ambil air di sini karena sumur di rumah kering, ada tapi sedikit dan kualitasnya kurang baik untuk konsumsi," jelasnya kepada wartawan, Senin (14/10/2019).
Bahkan, kata Siswanto, untuk mengirit air bersih, dirinya menumpang di rumah saudara yang masih memiliki sumber air. "Sulit sekali untuk medapat air, paling mandi satu hari satu kali atau dua kali pagi dan sore saja. Itupun tidak di rumah tapi di rumah saudara tempatnya jauh," ungkapnya.
Diakui Siswanto, musim kemarau ini dirasakan sejak dua bulan terakhir. Cuaca panas dan tidak adanya hujan menambah semakin sulitnya mendapat air.
"Dua bulan ini sudah, ini sumbernya milik warga. Jadi dibuka untuk umum gratis tapi ya harus antre karena banyak yang menggunakan Sementara bantuan pemerintah masih belum ada," katanya.
Sementara data dari BPBD Banyuwangi, mencatat sejauh ini terdapat 16 desa di empat kecamatan yang mengalami kekeringan. Di antaranya, Kecamatan Wonsorejo ada tiga desa, Kecamatan Tegaldlimo lima desa, Bangorejo tiga desa dan Kecamatan Tegalsari terdapat lima desa.
"Jumlah ini menurun dari tahun ke tahun. Kalau dulu warga yang terdampak bisa mencapai 70 ribu jiwa, tapi tahun ini tinggal 11 ribuan jiwa," jelas Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Banyuwangi, Eka Muharam.
Pemerintah Banyuwangi melalui BPBD telah menyalurkan bantuan air bersih ke daerah terdampak. Namun dari data tersebut, Kecamatan Srono tidak termasuk di dalamnya.
"Kami dari BPBD Banyuwangi telah menyalurkan bantuan berupa air bersih ke daerah terdampak. Namun, bagi daerah yang belum mendapat bantuan air bisa menunggu atau melaporkan ke pemerintah," pungkasnya. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini