"Ini anak-anak akan belajar di sana. Sekolahnya namanya Saint Vincent School yang dulu kepala sekolahnya profesor yang pernah ke Surabaya. Dia yang memberikan anak-anak disabilitas agar sekolah ke sana. Selama di sana kita nggak bayar cuma kita bayar biaya hidup sama transport," kata Risma di Balai Kota Surabaya, Senin (17/6/2019).
"Itu sekolah tunanetra tertua di Eropa. Dan yang kita kirim semua anak-anak tunanetra. Ada tujuh anak terus gurunya ada delapan. Di sana 6 minggu nanti ada translater," tambah mantan Kepala Bappeko itu.
Ketujuh anak tunanetra tersebut yakni Rahul Narendra Witjaksono (SMPN 7 Surabaya), Melinda Putri (SDN Sidotopo Wetan), Rizky Niva Firmansyah (SDN Pacarkeling), Earlt Priscilia Teja (SDN Tambaksari III), Firmansyah Rizky Rifai (SDN Klampis Ngasem II), Reva Gabriella Candra (SLB A YPAB) dan Mohammad Hibram (SLB A YPAB).
Menurut Risma, selama di Liverpool para anak-anak itu akan belajar banyak hal terutama kemandirian. Mereka akan ditempatkan di asrama dan didampingi oleh translater dan para guru mereka dari Surabaya.
"Mereka akan diajari untuk praktik-praktik untuk mereka bisa mandiri di kehidupannya. Jadi kalau mereka nanti ditanya mereka akan jadi seperti apa kemudian mereka akan diarahkan. Jadi di sana ada tempat rumah khusus misalnya dia akan membuka kafe itu di sana ada. Kemudian dia mau buat apa," papar Risma.
Menurut Risma berbeda dengan di Indonesia, di Liverpool para tunanetra akan dilatih untuk hidup mandiri tanpa tergantung dengan orang lain atau tanda-tanda petunjuk untuk tunanetra. Jadi sepulang dari Liverpool, Risma berharap ketujuh anak yang dikirim tersebut bisa mandiri dalam kehidupan sehari-hari.
"Mandiri bagi mereka itu kan sulit. Karena mereka di sini masih tergantung sama orang tuanya. Masalahnya kan mereka tidak selamanya harus tergantung. Makanya harus mandiri termasuk di berkehidupan sehari-hari," pungkas Risma. (sun/bdh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini