Masih Kemarau, Warga Ponorogo Lakukan Ritual Minta Hujan

Masih Kemarau, Warga Ponorogo Lakukan Ritual Minta Hujan

Charolin Pebrianti - detikNews
Senin, 17 Des 2018 09:10 WIB
Foto: Charolin Pebrianti
Ponorogo - Meski sudah memasuki musim hujan, warga Ponorogo tetap menggelar doa minta hujan. Sebab, hujan di bulan Desember ini belum mencukupi petani untuk bercocok tanam.

Warga Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong, pun menggelar ritual Mbah Joyonegoro. Ritual ini diawali dengan pengumpulan ingkung dan lauk yang dimasak oleh warga di pesanggrahan atau di gazebo. Usai pengumpulan makanan, beberapa perangkat desa dengan tetua adat setempat menuju ke sumber air desa atau yang biasa disebut ngunut oleh warga setempat.

Sesampainya di ngunut, tetua adat kemudian membakar kemenyan dan dupa serta membuang sesaji berupa pindang lulang dan dawet.

Sesaji pindang lulang ini terbuat dari kulit sapi yang dimasak menggunakan kluwak dan berwarna hitam. Sedangkan dawet atau cendol ini berwarna putih terbuat tepung beras dan santan.

Kedua jenis makanan tersebut dipilih sebagai bentuk perwakilan hitam dan putih. Sengaja dialirkan ke sumber air yang bersih sebagai bentuk agar dijauhkan dari mara bahaya dan segera turun hujan.

"Sesajennya itu dialirkan di Ngunut atau sumber air sebagai tolak balak supaya hujan segera turun di Ponorogo," tutur Sesepuh Desa Gatiyo (69) kepada detikcom, Senin (17/12/2018).

Usai larungan, sesepuh pun mengambil air dari Ngunut yang diwadahi dalam teko dan dibawa kembali ke pesanggrahan. Sesampainya di pesanggrahan, sesepuh membacakan doa agar segera turun hujan.

"Pesanggrahan dipilih karena disini tempat ditambatkannya kuda mbah Joyonegoro salah satu prajurit Pangeran Diponegoro," terang dia.

Warga Ponorogo ritual minta hujan/Warga Ponorogo ritual minta hujan/ Foto: Charolin Pebrianti

Gatiyo menambahkan Mbah Joyonegoro merupakan sosok prajurit handal dan tersohor pada jamannya. Selain itu, tempat pesanggrahan ini sering dijadikan warga untuk tirakatan atau semedi.

"Ritual meminta hujan ini ritual adat 3 tahunan, seperti yang diajarkan Mbah Joyonegoro," papar dia.

Usai membacakan doa, sesepuh pun membuang air dari Ngunut sembari memutari pesanggrahan. Sementara itu, pemuda desa terlihat membagikan makanan yang sengaja dibawa warga untuk dibagikan dan dimakan bersama.

"Acara ditutup dengan seni tradisional tayub yang ada penari dan musiknya," imbuh Gatiyo.

Sementara Kades Karangpatihan Eko Mulyadi menambahkan ritual ini merupakan ritual adat di desanya dan harus dijaga secara turun temurun. Apalagi Ponorogo masih dilanda kekeringan. Meski dibeberapa tempat sudah musim hujan, Ponorogo belum sepenuhnya merata merasakan hujan.

"Selain ritual meminta hujan ini adalah wujud syukur warga desa dengan apa yang telah diberikan oleh alam selama ini agar menjadi berkah," tukasnya.

Eko pun berharap selepas pelaksanaan ritual, hujan bisa segera turun agar warga yang berprofesi sebagai petani bisa bercocok tanam dengan nyaman.

"Semoga doa masyarakat Karangpatihan bisa segera terkabul dan diberikan hujan yang lebat bisa membawa berkah untuk masyarakat," pungkas dia. (fat/fat)
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.