"Apa yang disorot itu tidak benar. Data yang mereka berikan itu data lama 6 tahun lalu," tutur Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni saat ditemui detikcom di kantornya Jalan Alun-alun Utara, Jumat (12/10/2018).
Ipong menjelaskan sekitar 2 bulan lalu, dia dihubungi oleh orang KPAI yang menanyakan terkait laporan masyarakat tentang perlakuan anak di kampung idiot. Di Bumi Reog ada 3 desa yang diketahui sejumlah penduduknya menderita tunagrahita yakni Desa Sidoharjo, Karangpatihan, dan Krebet.
"Saya tawari, didampingi dari pemerintah atau tidak. Katanya mau, Kabid yang membidangi anak-anak. Sudah, terus mereka ke sana ke tiga desa itu," terang Ipong.
Ipong sempat menjelaskan kepada perwakilan KPAI tersebut terkait istilah kampung idiot. Istilah itu merupakan istilah 6 tahun lalu. Sekarang sudah tidak ada istilah tersebut di Ponorogo.
"Karena sekarang jumlah orang idiot atau tunagrahita itu sedikit, anak-anak idiot bahkan tidak ada," jelasnya.
Usai kunjungan tersebut, KPAI malah memberikan surat yang isinya menyoroti nasib anak di ketiga desa tersebut. Bahkan data dari KPAI yang menyebutkan ada 400 warga tunagrahita dibantah tegas oleh Ipong.
"Data saya hanya ada 251 orang saja, data 400 itu data lama," imbuh dia.
Menurutnya, anak yang menderita tunagrahita pun saat ini berusia 9 tahun. Artinya selama 9 tahun terakhir tidak ada anak yang terlahir dengan tunagrahita. Bahkan ada pula temuan pasangan tunagrahita yang menikah dan anaknya normal semua. Berarti tunagrahita bukan keturunan tapi karena faktor luar.
"Itu kan berarti kami Pemkab Ponorogo sudah bekerja bahkan sebelum saya menjabat jadi bupati," tukasnya.
Penyebab utama tunagrahita menurut KPAI ada 3 faktor, yakni kemiskinan, nikah sejenis, dan gizi buruk. Lagi-lagi Ipong pun membantah temuan itu, karena menurutnya ada penelitian dari ITB dan UGM yang menyatakan penyebab utama warga menderita tunagrahita karena air yang ada di daerah tersebut banyak mengandung kadar besi dan tembaga yang sangat tinggi.
"Kami pun menyuplai makanan mereka dengan garam yodium dan makanan bergizi," tegasnya.
Selain itu, para warga tunagrahita pun juga diajari hidup mandiri dengan cara membuat batik ciprat, keset dan tas. "Harga keset Rp 25 ribu, batik ratusan ribu, tas Rp 250 ribu. Mereka setiap hari punya penghasilan, jadi tidak ada warga tunagrahita yang miskin mereka punya penghasilan Rp 25-75 ribu sehari," imbuh dia.
Ipong pun kembali menegaskan apa yang diutarakan oleh KPAI itu tidak benar karena tidak sesuai dengan keadaan saat ini. "Gak benar itu, padahal sudah lihat sendiri. Tapi datanya data lama," pungkas dia.
Sebelumnya, Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat KPAI Susianah Affandy menyoroti nasib anak-anak di beberapa kampung idiot di Ponorogo. Mereka datang karena banyaknya laporan masyarakat terkait penanganan anak di ketiga kampung tersebut. (iwd/iwd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini