Menurut banyak sumber yang didapatkan detikcom, bahwa praktik suap dan gratifikasi saat Pemkot Malang mengajukan rancangan APBD-perubahan tahun anggaran 2015. Tim anggaran dari Pemkot Malang diketuai Sekretaris Kota Malang Cipto Wiyono membawa rancangan ke Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Malang yang dipimpin ketua dewan Arief Wicaksono.
DPRD beranggotakan 45 orang saat itu juga mengusulkan program pokok pikiran (Pokir) untuk masing-masing anggota dewan sesuai daerah pilihan (Dapil). Bersamaan juga, Pemkot Malang mengajukan realisasi proyek jembatan Kedungkandang sempat mandeg secara multiyears.
Diduga kongkalikong terjadi pada saat itu, sampai suap mengalir kepada Arief Wicaksono sebesar Rp 700 juta dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Pemkot Malang tahun 2015 Jarot Edy Sulistiyono. Arief sudah divonis penjara 5 tahun dan denda Rp 200 juta, sementara Jarot divonis 2 tahun 8 bulan penjara.
Suap dan gratifikasi tak berhenti di situ. Pada Agustus 2015 saat pembahasan APBD-perubahan 2015 berjalan, anggota DPRD Kota Malang diduga menerima uang Pokir dari masing-masing ketua komisi, ada empat komisi di DPRD Kota Malang.
Diduga uang Pokir didistribusikan oleh Arief Wicaksono selaku Ketua Banggar kepada masing-masing Ketua Komisi untuk dibagikan kepada anggotanya.
Subur Triono, satu dari lima anggota DPRD tak tersangkut korupsi mengaku, sempat menerima uang Pokir dari Ketua Komisi C Mohan Katelu yang kini jadi terdakwa bersama 18 anggota DPRD lain di Pengadilan Tipikor Surabaya.
"Nilainya Rp 12,5 juta, yang memberi ketua komisi C, kemudian ditambah oleh Ketua Dewan (Arief Wicaksono) sebesar Rp 5 juta. Tak lama uang itu saya kembalikan, karena ada kejanggalan," ungkap Subur kepada detikcom di DPRD Kota Malang Jalan Tugu, Kamis (6/9/2018).
Selain uang Pokir, Subur juga mengaku ada uang sampah yang juga diberikan oleh Ketua Komisi C kepada dirinya, dan ada juga uang pengesahan APBD-perubahan 2015.
"Totalnya, yang saya terima Rp 22,5 juta, tidak tahu untuk yang lain berapa. Uang tersebut kemudian saya kembalikan ke KPK, sempat saya sampaikan kepada teman-teman untuk melakukan hal sama, bukan saya tidak pernah ngomong," ujar anggota Fraksi PAN ini.
Ditanya apakah suap dan gratifikasi didistribusikan dari Ketua DPRD Arief Wicaksono ? Subur tak menjawab tegas, namun ada dugaan demikian. "Bisa jadi, semua yang saya ketahui sudah saya sampaikan kepada penyidik (KPK). Kita harus menghormati proses hukum yang tengah berjalan, saya juga mengikuti apa yang dihadapi teman-teman (41 anggota DPRD)," ungkap Subur.
Lantas empat anggota DPRD lain, apakah melakukan hal sama hingga lolos dari korupsi massal ? Subur mengaku tidak tahu. Dari lima anggota DPRD yang tersisa, dua orang merupakan anggota dewan baru saja dilantik melalui proses Pergantian Antar Waktu (PAW) Juli 2018 lalu. Yakni, Abdulrachman dari PKB yang menjabat Plt pimpinan DPRD Kota Malang dan Nirma Cris Desinidyah (Hanura).
Abdulrachman menggantikan Rasmudji karena meninggal dunia dan Nirma Cris mengganti Yaqud Ananda Gudban karena maju di Pilwali Malang 2018. Namun, Yaqud juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi oleh KPK.
Sementara dua anggota DPRD lain adalah Priyatmoko Oetomo dan Tutuk Haryani, keduanya dari Fraksi PDIP untuk masa jabatan 2014-2019 sama halnya dengan Subur Triono.
Priyatmoko duduk di Komisi C sempat beberapa kali menjadi saksi, kini dikabarkan tengah menjalani perawatan karena gangguan kesehatan. Hal sama dialami Tutuk anggota DPRD Dapil Sukun ini juga mengalami sakit pada ginjal, Tutuk hanya bisa aktif sekali dalam sepekan.
Dalam penanganannya, KPK mengungkap nilai suap dan gratifikasi beragam mulai dari Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton yang kini jadi terdakwa. Kini 41 anggota DPRD telah tersangkut suap dan gratifikasi, 18 orang menjadi terdakwa dan menjalani proses persidangan, sisanya 20 orang baru saja ditetapkan sebagai tersangka. (fat/fat)