Eksekusi rumah di Jalan Urip Sumoharjo yang dilakukan panitera PN Pasuruan diamankan polisi. Petugas awalnya meminta para penghuni mengosongkan rumah dan mengeluarkan semua perabotan dengan baik-baik. Namun upaya petugas mendapatkan penolakan.
Salah satu pemilik rumah Nur Saidah (40) tampak menghalangi petugas. Sambil menangis histeris dan berteriak dia meminta petugas menghentikan eksekusi. Namun, petugas bergeming dan tetap mengeluarkan perabotan dan barang-barang dari dalam rumah.
Melihat hal itu, Saidah semakin tak terkendali. Ia menjerit dan berteriak dan mengutuk petugas.
"Ya Allah, Ya Allah, kami minta keadilanmu, aku minta keadilanmu hari ini. Kami sudah membayar ratusan juta tapi hari ini hilang lenyap begitu saja, ya Allah," teriak Saidah saat petugas mengosongkan rumahnya, Kamis (30/8/2018).
Sembari mengangkat kedua tangan dan menengadah ke langit, perempuan berbaju dan berkerudung kuning ini terus berteriak dan memanjatkan doa.
"Ya Allah kami telah didholimi orang-orang dholim. Aku memohon padamu agar engkau membalas lebih dari kesedihan kami. Seandainya ini terjadi pada kalian semua, anak kalian banyak, bagamana nasib kalian," suara Saidah mulai habis.
Mengetahui petugas tak menggubrisnya, Saidah semakin marah. Ia mengutuk. "Hancurkan mereka melebihi kehancuran kami. Hancurkan mereka ya Rob. Kabulkan doa kami ya Rob. Beri keadilan pada kami," ucapnya sambil sesenggukan.
Sambil menahan tangis, Nur Saidah pun akhirnya pasrah. Dia mendekati suaminya, M Saikhu (42) yang terdiam bersama seorang anak di pinggir jalan depan rumahnya.
"Saya tidak pernah diajak sidang. Tiba-tiba ada putusan eksekusi. Saya sudah membayar Rp 225 juta pada ahli waris rumah ini, namanya Arif," kata Saikhu datar.
Karena sudah merasa membeli, ia dan keluarganya telah menempati rumah selama bertahun-tahun. Ia menganggap rumah yang ditempati telah sah dimilikinya. "Saya bayar rumah ini pada tahun 2013," ungkapnya.
Rumah Saikhu merupakan satu dari 6 rumah yang hari ini dilakukan eksekusi. Selain sebagai tempat tinggal, ia gunakan rumahnya sebagai tempat usaha kios handphone.
Panitera PN Pasuruan, Raden Agusdiono menegaskan, upaya paksa ini dilakukan sudah sesuai ketentuan merujuk keputusan pengadilan yang telah bersifat tetap.
Dijelaskan Agus, kasus bermula pada 1996 saat pemilik 6 rumah, salah satunya orang tua M Saikhu, menggugat Nasikhatun yang disebut Agus sebagai pemilik lahan. Proses persidangan terbilang lama melalui persidangan di pengadilan negeri hingga pengajuan PK (Peninjauan Kembali) ke Mahkamah Agung.
"MA tetap memenangkan Nasikhatun sebagai pemilik sah lahan yang digunakan oleh 6 keluarga itu pada tahun 2005," terang Agus.
Menurutnya, sejak putusan itu upaya pendekatan telah dilakukan sampai melayangkan teguran kepada penghuni 6 rumah. Pada 2012, pengadilan pernah mengeluarkan surat 'teguran' agar mereka yang sebelumnya menggugat Nasikhatun mengosongkan rumah.
"Setelah melalui serangkaian langkah hukum, PN Pasuruan memastikan melakukan upaya paksa, agar 6 rumah ini dikosongkan," terangnya.
Sementara pengosongan 6 rumah berlangsung berjam-jam. Setelah rumah kosong, petugas melakukan pembongkaran. (fat/fat)











































