"Hasil panen jeruk menurun tajam, bahkan ada yang gagal panen. Kondisi ini disebabkan cuaca ekstrim dan kekeringan," kata Suhadi, salah seorang petani jeruk siam, Kamis (16/8/2018).
Suhadi mengatakan siklus musim hujan dan musim kemarau yang tak normal menyebabkan pertumbuhan buah jeruk tak stabil. Kondisi tersebut diperparah minimnya suplai air karena kekeringan.
"Sebelumnya tanaman jeruk setiap hari terkena hujan berkepanjangan dan langsung terkena panas berkepanjangan. Apalagi air pun susah jadi tanaman haus air sehingga pertumbuhan tak wajar," jelas ayah dua anak ini.
Menurut Suhadi rata-rata hasil panen petani hanya 10-12 ton per hektar. Padahal tahun-tahun sebelumnya bisa mencapai 15-17 ton. Merosotnya panen jeruk membuat petani mengalami kerugian besar. Selain produksi turun, harga jeruk juga anjlok.
"Ukuran jeruk juga mengecil dan kurang bagus, tengkulak tak mau beli dengan harga biasanya," terangnya.
Dalam kondisi normal, tengkulak membeli jeruk dengan harga Rp 7 ribu - Rp 10 ribu per kilogram. Saat ini jeruk hasil panen petani hanya dihargai Rp 5 ribu per kilogram.
"Tengkulak menjual jeruk ke Jogjakarta, Lampung, Kalimantan. Biaya pengiriman juga mahal katanya," ungkap Suhadi.
Hardi, petani lainnya mengungkapkan pertanian jeruk siam di wilayah ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian warga. Sayangnya selama ini petani tak berdaya saat musin kemarau yang mana pohon-pohon jeruk selalu kekurangan air.
"Air jadi kendala utama selama bertahun-tahun karena kawasan sini selalu kekeringan saat musim kemarau. Kalau musim hujan, pengairan tanaman jeruk tidak perlu dikhawatirkan. Tapi saat kamarau, di sini tak ada air," terangnya.
Pasokan air dari pemerintah saat musim kemarau, lanjut Hardi, tak mungkin digunakan mengairi pohon jeruk.
"Jatah air hanya cukup untuk minum dan masak. Mandi saja jarang-jarang," pungkasnya. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini