Saat musim hujan biasanya 1 Ha lahan menghasil 5-6 ton, sekarang hasil panen saat musim kemarau hanya menghasilkan 4 ton gabah kering. Penurunan ini dipicu datangnya kemarau yang lebih awal.
"Sulitnya mendapatkan sumber air, petani hanya mengandalkan air sumur untuk pengairan," tutur Widodo kepada detikcom, Senin (9/7/2018).
Widodo menambahkan saat musim kemarau, usia padi jadi lebih pendek karena kekurangan air. Kondisi cuaca yang panas pun membuat petani harus rajin mengairi sawahnya agar tidak kekeringan.
"Hasilnya banyak padi yang dipanen lebih awal membuat hasil panen tidak maksimal," terang dia.
Sementara petani lainnya Sulaiman (58) warga Desa Bancar, Kecamatan Bungkal, mengeluhkan hal serupa. Faktor musim kemarau yang datang sejak awal Mei lalu membuatnya harus rajin mengairi sawah menggunakan diesel.
"Apalagi mengairi pakai diesel itu tidak murah, kalau lahan 1 Ha butuh pengairan selama 2 hari 2 malam pakai diesel, itu bahan bakar menghabiskan Rp 100 ribu," imbuh dia.
Padahal, lanjut dia, lahan padi tidak boleh mengalami kekeringan. Paling tidak, setiap 3 hari sekali harus diairi sampai musim panen. "Saya kemarin habis Rp 3 juta untuk pengairan saja, belum lagi ongkos untuk bibit, pupuk, tenaga kerja. Rugi saya," tukas dia.
Sulaiman pun berharap musim kemarau segera berakhir agar para petani tidak mengeluhkan masalah air. "Kalau musim hujan kan lebih mudah masalah airnya, kalau seperti sekarang air itu jadi barang mahal buat petani seperti kami," pungkas dia. (fat/fat)