Jika tiba-tiba tercium bau gas sulfur atau belerang yang menyengat, maka masyarakat agar menggunakan masker atau penutup hidung. Untuk langkah darurat bisa menggunakan kain yang dibasahi, lalu dijadikan penutup hidung dan mulut.
"Kita memang tidak tahu kapan munculnya gas itu. Tapi bisa sewaktu-waktu," kata Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III Jember, Setyo Utomo, ditemui saat Rapat Koordinasi Perkbangan Ijen di Paltuding, Kamis (4/4/2018).
Dijelaskan Setyo Utomo, hingga saat ini pihak BKSDA sebagai pengelola Kawah Ijen masih menutup kawasan tersebut dari semua aktivitas. Kendati statusnya masih berada pada Level I atau normal.
"Jika dalam perkembangannya membaik, Kawah Ijen bisa saja dibuka lagi. Tapi tetap secara bertahap," tandas Setyo Utomo.
Pantauan detikcom, dalam rapat koordinasi dan evaluasi tentang perkembangan Kawah Ijen itu, hadir pula Kadis Parpora Bondowoso dan Banyuwangi, Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Ijen, Perhutani, PTPN, serta para pemangku wilayah Ijen.
Kawah Gunung Ijen secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bodowoso dan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kawah terbesar di dunia ini mengeluarkan embusan gas belerang yang tertiup angin melalui aliran Sungai Kalipait, Rabu (21/3) malam.
Embusan gas belerang itu menyusuri lembah Sungai Kalipait hingga mencapai jarak lebih dari 7 km. Akibatnya, warga di 2 dusun yakni Margahayu dan Watucapil, Desa Kalianyar, Kecamatan Ijen yang memang dekat dengan bantaran sungai itu sempat terpapar embusan gas belerang.
Warga di dua dusun itu bergelimpangan pingsan setelah menghirup gas belerang tersebut. Puluhan warga yang pingsan lantas dievakuasi ke Puskesmas Ijen. Sementara ratusan warga diungsikan ke beberapa desa sekitar untuk menjauh dari Kawah Ijen. (bdh/bdh)