Seniman Surabaya Ini Protes Sukmawati dengan Puisi Buatannya

Seniman Surabaya Ini Protes Sukmawati dengan Puisi Buatannya

Deni Prastyo Utomo - detikNews
Rabu, 04 Apr 2018 14:55 WIB
Taufik Monyong saat membacakan puisi protes nya (Foto: Deni Prastyo Utomo)
Surabaya - Salah satu seniman Surabaya ini memprotes puisi 'Ibu Indonesia' yang dibacakan Sukmawati yang dinilai bermuatan SARA. Dia melakukan protes juga dengan puisi yang dibuatnya sendiri dengan judul 'Menunggu Cahaya Mentari'.

Adalah Taufik Hidayat, nama seniman itu. Pria yang mempunyai nama panggung Taufik Monyong ini membacakan puisi protesnya di hadapan para pedagang barang bekas di kawasan Gembong Surabaya. Tanpa teks atau naskah yang dibawanya, Taufik melantunkan puisinya.

Cahaya mentari yang menjadi kehidupan manusia
Merajut kata-kata dari sembilu rapala dan raja
Yang membuktikan isi kehidupan adalah simbol dari sebuah penista
Debu kini berhampuran membentuk gunung dan tumpukan-tumpukan daya khayal

Manusia bergumam di mana cita-cita dan cinta itu berada
Hanya kalimat dan syair terakhir yang dibicarakan oleh orang-orang
Menunggu asa dan harap yang tak kunjung datang

Manusia hanya tinggal berdoa
Bekerja sekuat tenaga dari paruh dan pikirannya
Hanya tuhan yang akan menentukannya

Taufik mengatakan bahwa sajak, syair, sastra, atau seni secara umum seharusnya disampaikan secara simbolik. Dan tidak harus disampaikan secara terbuka dan verbal.

"Kode etik untuk menyampaikan ide-ide lewat sastra ini, memang harus banyak belajar mengunakan ilmu pengetahuan sastra. Kami pikir, orang yang menyampaikan keluhan hatinya itu bisa saja menyampaikan dengan puisi," kata Taufik.

[Gambas:Video 20detik]


Menurut Taufik, apa yang dilakukan Sukmawati saat menyampaikan karya sastranya sangat berbeda bila dibandingkan dengan bapaknya, Soekarno. Sebab visi Bung Karno adalah membangun cita-cita politik nasional yang dibawa untuk pola tarung di dunia internasional.

"Bung Karno banyak didukung oleh banyak orang karena cita-cita politik nasional. Bukan malah sebaliknya, mencaci atau malah memaki bangsa sendiri karena ada perbedaan politik," ujar Taufik.

Menurut Taufik, Hal ini harus segera diluruskan, sebab satra itu bersifat sindiran, Kritik dan yang sifatnya makian itu tidak elok jika disampaikan secara langsung. Dan seniman sendiri biasaya lebih memilih kalimat yamg lebih halus.

"Apalagi ini menyinggung persoalan yang ideologi dan bersifat ketuhanan. Ini sangat sensitif. Menurut hemat saya, kita harus membaca persoalan ini dengan jelas. Jika kita ingin mengkritik negara kita sendiri, tidak harus dilakukan dengan sporadis. Karena jika ada orang yang tidak memahami, maka akan terprovokasi" tandas Taufik.

(iwd/iwd)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.