Disabilitas Nyoblos di TPS, Kenapa Tidak?

Pilgub Jatim 2018

Disabilitas Nyoblos di TPS, Kenapa Tidak?

Purwoto Sumodiharjo - detikNews
Selasa, 13 Mar 2018 17:25 WIB
Foto: Purwoto Sumodiharjo
Pacitan - Tahun 2004 adalah kali pertama Sugianto berpartisipasi dalam pemilu. Kala itu usianya sudah 29 tahun. Beberapa kali penyelenggaraan pesta demokrasi sebelumnya, tuna netra yang tinggal di Dusun Sumber, Desa Pringkuku, Pacitan ini tak pernah mendapat surat panggilan. Padahal jarak rumahnya dengan TPS hanya 100 meter.

Sugianto sempat galau karena kehilangan hak politiknya sebagai warga negara. Namun belakangan bapak dua anak itu mengaku senang sudah dapat memberikan suara dalam pemilu. Seiring gencarnya sosialisasi oleh KPU, jumlah pemilih dari kelompok difabel diklaim meningkat.

"Tahun 2004 dulu kesulitan masalah pendamping karena KPPS tidak menyediakan (tenaga pendamping). Terus saya minta tolong istri saya karena dia yang saya percaya," tutur Sugianto kepada detikcom di kantor KPU Pacitan, Jalan Veteran 66, Selasa (13/3/2018).

Sugianto adalah satu dari belasan penyandang disabilitas yang dihadirkan KPU Pacitan untuk mengikuti simulasi pemungutan suara. Ia datang bersama isterinya Suminah (36), dan anak keduanya Nizam Hafiz Azaki (3).

Sugianto tampak begitu berpengalaman mencoblos. Mulai pencatatan, pemungutan suara, hingga memasukkan surat suara ke dalam kotak dan berakhir mencelupkan jari ke tinta warna ungu. Semua dia lakukan dengan lancar. Selama proses berlangsung tangan Suminah tak lepas dari
pundak suaminya.

Tak banyak penyandang disabilitas semujur Sugianto. Slamet (44), warga difabel asal Kecamatan Ngadirojo mengakui masih banyak rekannya malas datang ke TPS saat pemilu. Ini karena jarak tempat tinggal ke TPS cukup jauh. Sedangkan panitia tidak menyediakan moda angkutan.

"Dikarenakan tempat (tinggal) nya itu sangat jauh. Fasilitasnya untuk antar jemput itu ndak ada. Jadi mau ke TPS kendalanya di situ," katanya sembari memegang tongkat kayu yang dia gunakan untuk penopang saat berjalan.

Sugianto ikut simulasi pencoblosan/Sugianto ikut simulasi pencoblosan/ Foto: Purwoto Sumodiharjo


Slamet yakin peran serta warga berkebutuhan khusus dalam pemilu akan meningkat seiring tersedianya fasilitas transportasi. Langkah ini penting, lanjut dia, karena sebagian pemilih dari kelompok penyandang disabilitas tinggal di pelosok pedesaan. Medan terjal juga menyulitkan mereka menuju TPS.

Ketua KPU Pacitan Damhudi membenarkan terbatasnya akses bagi pemilih disabilitas. Bahkan karena keterbatasan sarana prasarana, mereka terkesan dimarjinalkan. Tentu saja, lanjut dia, hal tersebut tidak boleh dibiarkan. Sebab pada dasarnya semua warga negara memiliki hak
setara dalam berpolitik.

Damhudi menuturkan pihaknya sedang memetakan jumlah pemilih disabilitas serta sebaran tempat tinggal mereka. Hanya saja, upaya tersebut masih dihadapkan minimnya data. Terlebih Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang selama ini menjadi acuan hanya menyebutkan kenis kelamin
dan usia tanpa mencantumkan ciri-ciri fisik pemilih.

"Dari kalangan disabilitas sendiri sebenarnya kita belum mempunyai data riil yang menyebar di seluruh Kabupaten Pacitan. Yang kita hadirkan ini adalah para tokoh (disabilitas) yang nanti kita harapkan menggerakkan rekan-rekan mereka," tutur tokoh yang aktif dalam
kegiatan konservasi laut.

Meski hanya simulasi, kegiatan yang berlangsung di Rumah Pintar Pemilu berlangsung seru. Layaknya TPS sesungguhnya, panitia juga menyediakan tempak khusus untuk Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS). Uniknya, posisi petugas diperankan awak media. Bahkan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Berty Stefanus juga turut serta. Dia memerankan diri menjadi saksi.

Menurut Berty, terobosan KPU Pacitan layak diapresiasi. Tentu saja hal tersebut harus diimbangi dengan pengawasan lebih ketat selama pemungutan suara. Ini terutama menyangkut netralitas tenaga pendamping.

Ke depan, lanjut pria kelahiran Manado, Sulawesi Utara, Panwaslu akan memberlakukan pemantauan khusus di tiap TPS dengan pemilih berkebutuhan khusus. Pengawasan tidak hanya dilakukan pada lingkup TPS melainkan hingga pemilih meninggalkan lokasi. Ini bertujuan mencegah penyalahgunaan suara mereka oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab.

"Kita mengantisipasi jangan-jangan dia (pendamping) keluar lantas ngomong dengan orang lain. Kalau sudah di rumah kita sulit mengawasi, tapi kalau sekitar TPS kita pasti akan mengikuti si pendamping itu," paparnya kepada detikcom di sela simulasi. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.