Ini Cerita Miring Gemblak di Ponorogo

Ini Cerita Miring Gemblak di Ponorogo

Charolin Pebrianti - detikNews
Sabtu, 13 Jan 2018 14:16 WIB
Foto: Istimewa
Ponorogo - Selama ini yang dipahami masyarakat bahwa gemblak itu identik ke arah negatif, yakni tradisi homoseksual. Ada seorang anak laki-laki rupawan yang tinggal bersama dengan komunitas warok dalam jangka waktu 2 tahun. Sedangkan orang tua dari anak yang digemblak mendapat upah berupa sawah garapan atau satu ekor lembu.

Akademisi pemerhati seni reog, Ridho Kurnianto menjelaskan tradisi gemblak memang erat kaitannya dengan reog, khususnya warok yang memiliki tradisi kanuragan.

"Di teologi warok dikenal dengan istilah harus menjauhi berhubungan dengan perempuan, sebelum Islam datang, ada teologi kanuragan seperti itu," tuturnya kepada detikcom saat ditemui di Kampus Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Jalan Budi Utomo, Sabtu (13/1/2018).

Sehingga konsekuensinya dari teologi tersebut, seorang warok tidak didampingi perempuan meski itu istrinya dalam pertapaannya. Sebagai gantinya mengangkat anak muda laki-laki yang dianggap semacam asisten untuk melayani peralatan pertapan, peralatan sesaji dan peralatan pemujaan.

Lalu dikemudian hari disalahartikan dengan istilah gemblakan. Tradisi dulu di kampung-kampung ada kumpulan warok memiliki satu hingga dua gemblak yang fungsinya untuk menghibur dan mengarahnya ke homoseksual.

"Dan itu memang ada, itu fakta ya. Kalau tradisi gemblak digeneralisir jadi homoseksual itu tidak benar ya, karena memang di dunia warok ada tradisi kanoragan tadi yang untuk mendampingi warok," jelasnya.

Lalu perkembangan berikutnya, ada penari jathil yang diangkat dari gemblak dalam seni reog Ponorogo bahkan waktu itu menggejala. Penari jathil yang diangkat dari gemblak didandani seperti perempuan, jadi seperti banci memang ada salah persepsi.

"Gemblak itu adalah perilaku homoseksual bahkan perilaku banci padahal itu adalah hanya pemaknaan yang bersifat lokal dan sektoral," terangnya.

Menurut bapak tiga orang anak ini, seharusnya gemblak itu harusnya dimaknai sebagai asisten yang mendampingi warok untuk olah kanoragan. Namun ada yang berkembang dengan istilah warokan dan gemblakan. "Nah, mungkin saja homoseksual dimaknai dari sana," paparnya.

Warok yang biasanya punya banyak harta, akhirnya bisa membeli gemblakan, meski mahal. Karena gemblakan itu memiliki kontrak selama satu hingga dua tahun dengan mahar satu ekor sapi yang umurnya 2,5 tahun atau sawah garapan untuk orang tua gemblak, ini resmi karena ada lamarannya ada perjanjiannya.

"Ada fakta gemblakan tapi kalau dikaitkan dengan warok Ponorogo, itu bukan homoseksual. Memang ada era itu yang memaknai gemblak itu sebagai gemblakan bukan gemblak sebagai asisten kanoragan," imbuhnya.

Sementara itu Sudirman yang juga pernah menjadi gemblak pada tahun 1970-an mengaku dirinya malah diistimewakan saat menjadi gemblak. Dirinya hidup bak selebritis, semua aksesoris mulai dari pakaian, sandal, kaos kaki bahkan potongan rambut harus yang istimewa.

"Padahal zaman dulu kan sulit ya, tidak begitu dengan gemblak, semuanya harus matching dari atas sampai bawah," paparnya.

Dirinya bahkan selama menjadi gemblak banyak mendapat pelajaran mulai dari ilmu tari untuk jathilan, juga diajari kesopanan dan berperilaku nilai-nilai sosial dari masyarakat. "Kalau dulu kan sekolah sulit, jadi kalau anaknya jadi gemblak itu malah bagus malah terhormat,' pungkas guru kesenian di SMPN 1 Jetis, Ponorogo.

(fat/fat)